Faiz AL-Husaini

Kebersamaan Memang Tak Selalu Mendatangkan Keindahan, Namun Tiada Keindahan Tanpa Kebersamaan================================================================================================== Berbagi Adalah Salah Satu Bentuk Dedikasi Dari Kebersamaan=======================================================================Salam KEBERSAMAAN========================================== Semoga Semua Ini Dapat Menjadi Berkah Bagi Sesama

Minggu, 22 April 2012

BUNGA BANK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Bunga Bank Dalam Perspektif Hukum Islam
A. Sejarah Bunga Bank Konvensional.
Bangsa-bangsa dahulu telah mengenal bank, tetapi bank ini berlainan dengan bank modern, sesuai dengan awal tingkat kejadiaannya transaksi di waktu itu. Saat itu belum ada mata uang dan baru muncul pada abad pertengahan, maka timbullah lembaga perbankan yang mereka gunakan sebagai alat mata uang, pertukaran uang dengan yang lain dan penyimpanan. Hal ini sesuai dengan tingkat kemajuan yang mereka capai pada saat itu. Mereka belum mengoperasikan uang yang didepositokan pada para bankir. Kemudian para bankir berpendapat bahwa adalah lebih baik kalau uang tersebut sebagian mereka kelola, karena pada umumnya pemilik uang tidak menginkan uang yang mereka titipkan itu dioperasikan. Sehingga, dengan uang yang dititipkan itu mereka dapat mengoperasikannya dalam jumlah tertentu, seraya mereka pun dapat mengembalikan uang titipan ini pada saat penitipnya memintanya kembali. Dengan cara semacam ini, penitip (deposan) tidak mengetahui bahwa uangnya telah dioperasikan atau dikembangkan oleh si bankir, karena yang bersangutan dapat mengembalikan kepada pemiliknya kapan saja uang itu ditariknya kembali, karena uang yang dititipkan pada si bankir itu banyak, sehingga ia dapat memperbesar operasinya dan mendatangkan keuntungan yang besar pula.
1
Dengan demikian si bankir berpendapat bahwa suatu hal yang menguntungkan bagi dirinya kalau penitip uang (deposan) diberi bagian dari keuntungan uang yang mereka titipkan kepadanya, sehingga uang mereka pun berkembang pula, dengan cara ini, si penitip memperoleh keuntungan dan si bankir juga mendapatkan untung yang jauh lebih besar. Bilamana si deposan tidak diberi keuntungan, barangkali mereka tidak akan menitipkan uangnya lagi pada si bankir atau tidak mengizinkan untuk dikembangkan. Karena itu, akhirnya orang-orang lain dapat digalakkan untuk menitipkan uang mereka padanya, sehingga akan bertambah investasi dan keuntungannya. Dari sinilah kemudian lahir gagasan lembaga perbankan modern (bank konvensional). Yang menjadi sandaran paling besar bagi kelangsungan hidup perbankan adalah deposito, sekalipun bersandar juga pada dua sumber lain, yaitu:
1. Modal, meliputi modal yang diberikan pemegang saham dan modal yang didapat dari keuntungan.
2. Kredit, hal ini dilakukan oleh bank-bank dagang bila membutuhkan modal, dan dipinjam dari bank sentral atau bank lain.
Menurut catatan sejarah, usaha perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi. Karena itu, sepantasnya kalau Plato (427-347 SM) sudah berbicara tentang bahaya rente. Perkembangan bank modern mulai berkemabang di Italia dalam abad pertengahan yang dikuasai oleh beberapa keluarga untuk pembiayaan kepausan dan perdagangan wol, kemudian perbankan berkembang pesat sesudah memasuki abad ke-18 dan 19.
Bank diambil dari kata banco, bahasa Italia, artinya meja.2 Dulu para penukar uang (money changer) melakukan pekerjaan mereka di pelabuhan-pelabuhan tempat para kelasi kapal datang dan pergi, para pengembara, dan wiraswastawan turun-naik kapal. Money changer itu meletakkan uang di atas sebuah meja (banco) di hadapan mereka. Aktivitas di atas banco inilah yang menyebabkan para ahli ekonomi menelusuri sejarah perbankan, mengaitkan kata banco dengan lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang ini dengan nama “bank”. Dengan demikian, bank di sini berfungsi sebagai penukaran uang antar bangsa yang berbeda-beda mata uangnya.
Secara kultural, tiap peradaban manusia sebenarnya menolak keberadaan bunga bank. Apalagi dengan legitimasi ajaran agama, penolakan pun semakin kuat. Akan tetapi, kepentingan pragmatis ekonomi kapitalis meluluhlantakkannya. Para ulama fiqh mulai membicarakan tentang bunga bank (riba), ketika mereka memecahkan berbagai macam persoalan muamalah. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan riba sesuai dengan periode larangan. Sampai akhirnya datang larangan yang tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Riba pada agama-agama langit (samawi) telah dinyatakan haram, sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Lama Kitab Keluaran ayat 25 pasal 22: “Bila kamu menghutangi seseorang di antara warga bangsamu uang maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang.” Namun orang Yahudi beranggapan bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan di kalangan sesama Yahudi. Tetapi tidak terlarang dilakukan terhadap non-Yahudi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Ulangan ayat 20 pasal 23.3
B. Pengertian dan Landasan Hukum Bunga Bank.
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa “interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan presentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan “interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan degan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang sekarang sering dikenal dengan suku bunga modal“.
Ada yang memebedakan antara riba dan rente (bunga) seperti Mohammad Hatta. Mantan Wakil Presiden RI, sebagaimana dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, menerangkan bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat kosumtif, sedangkan rente adalah untuk pinjaman yang bersifat produktif, demikian pula istilah usury dan interest, bahwa usury ialah bunga pinjaman yang sangat tinggi, sehingga melampaui suku bunga yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan interest ialah bunga pinjaman yang relatif rendah. Tetapi dalam realitas atau praktek menurut Maulana Muhammad Ali adalah sukar untuk membedahkan antara usury dan interest, sebab pada hakekatnya kedua-keduanya memberatkan bagi para peminjam.4
Oleh karena itu, apabila menarik pelajaran sejarah masyarakat Barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang telah dikenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam prosentase. Istilah usury muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap wajar. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar yang sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
Berbicara mengenai bunga bank, maka tidak bisa lepas dari yang namanya riba. Dan kata riba itu sendiri dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “tambahan” (az-Ziyadah)”. atau “kelebihan”—yakni tambahan pemabayaran atas uang pokok d pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang bertransaksi.
Pengertian riba di atas masih sangat umum sifatnya, dan belum memberikan ketentuan jenis riba apa yang diharamkan. Untuk mendekatkan pemahaman, ada ulama yang berependapat pentingnya melihat dan mempertimbangkan kata sandang yang ada dalam kata riba, di dalam al-Qur’an, dengan melihat fungsi kata sandang tersebut, diharapkan akan memperoleh pemahaman yang lebih mendekati pada kebenaran.
Dalam pandangan sebagian mufassir, kata sandang (definite article alif lam), berarti menunjuk kasus tertentu (ma’rifah). Maka makna kata ar-riba yang dimaksud adalah praktek pengambilan untung dari debitur yang sudah biasa di kalangan orang-orang Arab pra-Islam ketika al-Qur’an belum diturunkan, dengan pemahaman ini, kesimpulan awal yang barangkali sangat penting untuk dicatat, bahwa untuk bias memahami ayat secara lebih tepat dan mengena, seorang harus mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat (asbab an-Nuzul), barulah kemudian dapat diketahui apa arti riba sebenarnya.
Oleh karena itu, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit di antaranya adalah:
- Firman Allah SWT :
1. يايهاالدين امنوا لا تا كلوا الربوا اضعافا مضفة واتقوا الله لعلكم تقلحون .
2. واحل الله البيع وحرم الربوا .
3. ياايها الدين امنوا اتقوا الله ود روا ما بقي من الر بوا ان كنتم مؤمنين. فان لم تفعلوا فاد نوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون
- Hadis Nabi SAW:
1. لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهد يه .
2. انما الربا فى النسيئة .
Dari beberapa ayat dan hadis yang telah disebutkan tadi jelaslah bahwa riba itu betul-betul dilarang dalam agama Islam. Muncul sebuah pertanyaan, apakah semua riba termasuk dalam katagori arti atau maksud dari ayat dan hadits di atas?. Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah—ada beberapa pendapat dari para ulama. Di sini dijelaskan riba nasi’ah jelas-jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya (kejadian di masa jahiliyah). Jadi, dengan kata lain, turunnya ayat itu karena adanya riba nasi’ah. Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab ‘Ilami al-Muwaqi’in, sebagaimana dikutip Sulaiman Rasjid, mengatakan, bahwa “riba nasi’ah adalah riba yang dilakukan oleh kaum jahili di masa jahiliyah. Mereka menta-khirkan utang dari waktu yang semestinya dengan menambah bayaran; apabila terlambat lagi, ditambah pula terus-menerus, tiap keterlambatan wajib ditambah lagi, sampai utang yang asalnya seratus rupiah akhirnya menjadi beribu-ribu. Kalau dengan gadai, barang yang tergadai juga tetap tergadai”
Pelarangan riba nasi’ah mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti, pada dasarnya tidak diizinkan oleh syari’ah. Tidak ada perbedan apakah uang itu dalam prosentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau suatu jumlah yang harus dibayar di muka atau dikemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah atau jasa yang diterima sebagai syarat pinjaman. Inti dari permaslahan di sini adalah keuntungan positif yang ditetapkan di muka. Penting untuk dicatat bahwa menurut syari’ah, waktu tunggu selama pembayaran kembali pinjaman tidak dengan sendirinya memberikan justifikasi atas keuntungan positif dimaksud.
Hakikat pelarangan tersebut adalah tegas, mutlak, dan tidak mengandung perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekedar pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan dari uang pokok. Meskipun demikian, jika pemgembalian pinjaman pokok dapat bersifat positif atau negatif tergantung pada hasil akhir suatu bisnis, yang tidak diketahui terlebih dahulu. Ini diperbolehkan asal ditanggung bersama menurut prinsip-prinsip keadilan yang ditetapkan dalam syari’ah.

C. Macam-macam Riba dan Dampaknya.
Para ahli hukum Islam (fuqaha’) secara sederhana membagi riba menjadi empat macam yaitu: Pertama riba fadli, yaitu menukarkan dua barang yang sejenis dengan barang yang tidak sama. Kedua riba qardi, yaitu berutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Ketiga riba yad, yaitu berpisah dari tempat akad sebelum timbang-terima. Keempat riba nasi’ah, yaitu disyaratkan salah satu dari kedua barang yang ditukarkan tersebut ditangguhkan penyerahannya. Riba nasi’ah juga disebut riba duyun—yakni riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko dan hasil usaha muncul bersama biaya.
Sebagian ulama ada yang membagi riba tersebut atas tiga macam, yaitu riba fadli, riba yad, dan riba nasi’ah. Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah. Barang-barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perak, dan makanan yang mengenyangkan atau berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama sejenisnya—seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum—diperlukan tiga syarat: 1. Tunai; 2. Serah terima; dan 3. Sama timbangannya. Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘illat ribanya satu—seperti emas dengan perak—boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘illat ribanya berlainan perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga tersebut.
Sementara Ibnu Qayyim, membagi riba atas dua bagian: jali dan khafi. Riba jali adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan mandharat yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Sedangkan riba khafi diharamkan untuk merutup terjadinya riba jali (wa al-khafi haramun li annahu zari’atun ila al-jali).
Semua agama samawi (revealed relegion) telah melarang praktek bunga bank, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat langsung pada praktek riba pada khususnya. Adapun dampak akibat dari praktek riba adalah:
1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
2. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri, dan sebagainya yang dapat ciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal itu sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman dan bunganya.
4. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengurangi semangat kerja sama atau saling menolong dengan sesama manusia, dengan mengenakan tambahan kepada peminjam akan menimbulkan prasaan bahwa peminjam tidak tahu kesulitan dan tidak mau tahu penderitaan orang lain.
5. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan. Kreditur yang meminjamkan modal dengan menenutut pembayaran lebih kepada peminjam dengan nilai yang telah disepakati bersama menjadikan kreditur mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik untuk menuntut keasepakatan tersebut. Karena dalam kesepakatan kreditur telah memperhitungkan keuntungan yang telah diperoleh dari kelibahan bunga yang akan didapat, dan itu sebenarnya hanya berupa pengharapan dan belum terwujud.
D. Perbedaaan Bunga Bank Dan Sistem Bagi Hasil Perbedaan antara Bunga dengan Bagi Hasil
Islam mengharamkan bunga dan menghalalkan bagi hasil. Keduanya memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat adanya perbedaan antara investasi dan pembungaan uang (lihat tabel 2). Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung risiko, dan karenanya mengandung unsur ketidakpastian. Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki risiko karena adanya persentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan besarnya modal.

Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Bunga Bagi Hasil
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
b. Besarnya bunga adalah suatu persen-tase tertentu terhadap besarnya uang yang dipinjamkan.
b. Besarnya bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa mempertimbang-kan apakah proyek/usaha yang dijalankan oleh nasabah / mudharib untung atau rugi.
c. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. a. Penentuan besarnya nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung-rugi.
b. Besarnya bagi hasil adalah berdasarkan nisbah terhadap besar-nya keuntungan yang diperoleh.
c. Besarnya bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek/usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi maka kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana, kecuali kerugian karena kelalaian, salah urus, atau pelanggaran oleh mudharib.
d. Tidak ada yang meragukan keabsah-an bagi-hasil.
Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank syariah termasuk kategori investasi. Besar-kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana. Dengan demikian, bank syariah tidak dapat hanya sekadar menyalurkan uang. Bank syariah harus terus-menerus berusaha meningkatkan return on investment sehingga lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.

Untuk Download Artikel Klik Gambar

1 komentar: