Faiz AL-Husaini

Kebersamaan Memang Tak Selalu Mendatangkan Keindahan, Namun Tiada Keindahan Tanpa Kebersamaan================================================================================================== Berbagi Adalah Salah Satu Bentuk Dedikasi Dari Kebersamaan=======================================================================Salam KEBERSAMAAN========================================== Semoga Semua Ini Dapat Menjadi Berkah Bagi Sesama

Selasa, 10 April 2012

ishtishna


BAI’ AL-ISTISHNA
1. Konsep Istishna’ (Purchase by Order or Manufacture)
Istishna adalah suatu transaksi antara penjual dan pembeli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’ (produsen), dimana barang yang diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan kriteria yang jelas.
Secara terminologi, istishna itu sendiri adalah minta dibuatkan. Dengan demikian, menurut jumhur ulama istishna sama dengan salam, karena objek/barang yang dipesannya harus dibuat terlebih dahulu dengan cirri-ciri tertentu seperti halnya salam. Bedanya dengan salam adalah pada sistem pembayarannya. Salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedangkan istishna boleh di awal, di tengah, atau di akhir setelah pesanan diterima.

Dalam fatwa DSN MUI, Jual beli istishna merupakan suatu transaksi dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati anatara pemesan dan penjual.
Jual beli istishna adalah jual beli yang belum jelas objek transaksinya, tetapi aka nada/siap sesuai kesepakatan anatara konsumen dan produsen,. Sebagian ulama menyatakan sebagai transaksi yang fasid (rusak), karenanya terdapat perbedaan pendapat dikalangan mereka. Seperti ulama mazhab Syafi’i melarang akad istishna, karena menurut mereka bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku, yaitu objek yang ditransaksikan harus nyata. Menurut mereka akad istishna termasuk ke dalam bai al-ma’dum (jual beli sesuatu yang tidak ada) yang dilarang syara’.
Tujuan transaksi istishna adalah untuk mempermudah nasabah melakukan jual beli terutama dalam hal manufaktur yang mana membutuhkan biaya besar, sedangkan nasabah/pembeli tidak cukup biaya. Sehingga pihak pemberi biaya memberikan kemudahan dalam pembiayaan nasabah kepada penjual.
Mengingat istishna merupakan lanjutan dari jual beli salam, maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam berlaku pula pada istishna.
Ulama mazhab Hanafi, membolehkan akad ini, karena didalamnya terdapat kebutuhan orang banyak yang karenanya kebutuhan konsumen tidak selamanya sama dengan barang yang telah diproduksikan, maka akad ini termasuk akad tolong menolong antara konsumen dan produsen.
Ahmad al-Hajal Kurdi, pakar fiqih Universitas Damascus, suriah, memandang pandangan ulama Hanafiah sangat relevan, karena hasil komoditi produksi sesuai dengan pesanan, baik untuk skala local, nasional, mauppun internasional. Karenanya jika akad ini dianggap tidak sah, maka dunia modern dengan kemajuan teknologinya yang memberlakukan akad seperti ini akan menemui kesulitan dan kemadaratan bagi kehidupan manusia secara umum, sementara hukum syara’ bertujuan untuk melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia, maka menurutnya akad ini sulit untuk ditolak, sesuai kaidah ynag mengatakan al ‘adatu muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi hukum).
Menurut jumhur fuqaha, istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad salam. Bisanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad salam.
a. Rukun dan Syarat Istishna
Rukun.
• Aqid (orang yang berakad, yaitu shani’ dan mustashni’ yang telah baligh dan mumayyiz)
• Ma’qud ‘alaih (objek akad berupa mashu’ dan tsaman)
• Sighat (ijab qabul)
Syarat.
• Mashnu’ (Menjelaskan jenis, bentuk, kadar, sifat, kualitas, kuantitas)
• Tsaman (Diketahui semua pihak, bias dibayar saat akad, dicicil/ tangguh. Harga tidak berubah kecuali disepakati)


2. Landasan Hukum Istishna
a. Al-Qur’an
         •                            
283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.



b. As-Sunnah
ﻣﻥ ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻲ ﺷﻲ ﻓﻓﻲ ﻛﯿﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻦ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﺍ ﻟﻰ ﺍ ﺟﻞ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang di ketahui”
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah).
c. Ijtihad
Meningat istishna merupakan lanjutan dari salam maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada salam juga berlaku pada istishna. Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut keabsahan istishna dengan penjelasan berikut.
Menurut mazhab Hanafi , istishna termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar istishan karena alesan-alesan berikut ini .
a. Masyarakat telah memperaktikan istishna secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sma sekali. Hal demikian menjadikan istishna sebagai ijma atau konsensus umum.
b. Di dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma ulama.
c. Keberadaan istishna didasarkan kebutuhan masyarakat. Banyak orang sering kali memerlukan kontrak agar orang lain dapat membuatkan barang untuk mereka.
d. Istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagai fuqaha kontemporer berpendapat bahwa istishna adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.
Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.

SKEMA APLIKASI PRODUK ISTISHNA






d. Fatwa DSN-MUI
1. Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna. Yang menjelaskan tentang ketentuan pembayaran, ketentuan barang, dan ketentuan yang terkait dengan jual beli istishna’.
2. Fatwa No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli istishna’ pararel.

3. Aplikasi produk istishna
a. Istishna Pararel
Dalam sebuah kontrak istishna bias saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontraktor untuk melakukan kontrak tersebut.
Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajiban pada kontrak pertama, kontrak ini dikenal sebagai istishna pararel.
Ada beberapa konsekuensi saat bank islam menggunakan kontrak istishna pararel. Diantaranya sebagai berikut:
a. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak uang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna pararel atau subkontrak untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian, sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
b. Penerimaan subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab atas bank islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasbah pada kontrak pertama akad. Istishna kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat kontrak pertama, dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.


c. Bank Islam shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengdakan barang, bertanggung jawab kepada masalah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna pararel juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.


PERBANDINAGN ANTARA SALAM DAN ISTISHNA
SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN & KETERANGAN
Pokok Kontrak Muslam Fiih Mashnu’ Barang ditangguhkan dengan spesifikasi
Harga Dibayar saat kontrak Bisa saat kontrak, bias diangsur, bias dikemudian hari Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’
Sifat kontrak Mengikat secara asli (thabi’i) Mengikat secara ikutan (thaba’i) Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab
Kontrak Pararel Salam Pararel Istishna Pararel Baik salam pararel maupun istishna pararel sah asalkan kontrak secara hukum adalah terpisah.





Contoh Kasus
Kasus
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepak bola sebesar Rp 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum di pasar biasanya Rp. 40.000 sedangkan perusahaan itu bias menjual kepada bank dengan harga Rp. 38.000.
Jawaban
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pembuatan kostum tersebut. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000 per kostum atau sekitar Rp 1 juta rupiah (Rp 20 juta/Rp 38.000 X Rp 2.000) atau 5 persen dari modal. Bank bias menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.
4. Kesimpulan
Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuatan barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat harus berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang disepakati atas harga secara sistem pembayaran: apakah pembayaran di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Berdasarkan landasan hukum al-qur’an, hadis, dan ijtihad maka istishna adalah sah atas dasar qiyas, aturan umum syariah dan berdasarkan Fatwa No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli istishna. Yang menjelaskan tentang ketentuan pembayaran, ketentuan barang, dan ketentuan yang terkait dengan jual beli istishna’ dan Fatwa No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli istishna’ pararel.
Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara Istishna dan Salam, dalam persamaannya karena Istishna adalah kelanjutan dari Salam, maka landasan hukum yang berlaku pada Salam berlaku pula terhadap ishtishna, dan dalam perbedaannya salah satunya adalah tentang pembayaran dan sifat kontrak. Jika dalam hal pembayaran dalam salam di bayar saat kontrak, sedangkan dalam Istishna bisa saat kontrak, diangsur, atau dikemudian hari. Dalam sifat kontraknya Salam mengikat secara asli (thabi’i) sedangkan istishna mengikat secara ikutan (thaba’i)










Untuk Download Artikel Klik Gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar