Faiz AL-Husaini

Kebersamaan Memang Tak Selalu Mendatangkan Keindahan, Namun Tiada Keindahan Tanpa Kebersamaan================================================================================================== Berbagi Adalah Salah Satu Bentuk Dedikasi Dari Kebersamaan=======================================================================Salam KEBERSAMAAN========================================== Semoga Semua Ini Dapat Menjadi Berkah Bagi Sesama

Senin, 16 April 2012

kaidah tasri'iyah

ISTISHAB
A. Definisi Istishab
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
B. Dasar Hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
C. Macam-Macam Istishab
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:
a. Istishhab berdasar penetapan akal
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar.
Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan).”
2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan.”
3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”
b. Istishhab berdasarkan hukum syara’
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”
2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya.”
3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.”


Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya
Kaidah-kaidah istishab antara lain:
الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
الاصل في الانسان البراءة
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”

Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.











ISTISHLAH
A. Pengertian Istishlah
Menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia baik dalam arti menarik atau menghasilakan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak/menghindarkan kemadharatan atau kesusahan. Pengertian yang lain menyatakan Istishlah adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan. Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan (manfaat) dan menjauhkan madharat (kesusahan).
ﺃﻠﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮ ﺍﻟﺷﺮﻉ
“Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka sesuai dengan adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas maka dinamakan mashlahah. Al-Khawarizmi menyatakan :
ﺍﻟﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮﺩ ﺍﻟﺷﺭﻉ ﺑﺩ ﻓﻊ ﺍﻟﻓﺎﺳﺩ ﻋﻥ ﺍﻟﺧﻟﻕ
“memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum ) dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia”
Dari uraian diatas dapat kita mengerti bahwa tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia dunia maupun akhirat. Kemaslahatan ini merupakan lima tujuan syara’ yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Disampig itu, juga segala upaya untuk mencegah segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan mashlahah.
B. Macam-macam Istishlah.
Dalam kajian para ahli al-ijtihad mengemukakan terdapat tiga jenis mashlahah, yaitu :
1) Mashlahah yang diakui ajaran syari’ah.
Yang terdiri atas tiga macam tingkat kebutuhan manusia, yaitu :.
1. Mashlahah al-Dharuriyyah,
Yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan diakhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
Dharuriyyah, (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan kehormatan) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan agamanya. Permasalahan diataslah yang merupakan dasar mashlahah.
2. Mashlahah al-Hajiyah,
Yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kebutuhan pokok, untuk menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam kehidupannya. Misalnya, dalam bidang ibadah di beri keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah diatas.
3. Mashlahah al-Tahsiniyyah,
Yaitu kemaslahatan yang merupakan kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara sopan santun dan tata-krama dalam kehidupan. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.
2) Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah
yaitu kepentingan yang bertentangan dengan mashlahah yang diakui terutama pada tigkat pertama. Mashlahah ini disebut Mashlahah al-Mulghah.
Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-175 H/ahli fiqh Maliki di Spayol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spayol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasullah diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, disebut dengan mashlahah al-mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.




3) Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.
Mashlahahini disebut dengan Mashlahah al-Mursalah.
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi kedalam dua macam yaitu :
1. Mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori.
2. Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh sekumpulan makna nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadist).
Najm al-Din al Thufi (675-716 H/1276-1316 M, ahli ushul fiqh Hambali), tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh diatas. Menurutnya, mashlahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak.
Al-Mashlahah al-‘ammah.
Hukum Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-mashalih al-khamsah. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang membentuk fardhu ‘ain. Seperti misalnya menyangkut mashlahah harta benda (untuk makan, pakaian, dan tempat tinggalnya), dan mashlahah akal pikiran (kewajiban menuntut ilmu bagi semua orang islam). Mashlahah ini terbagi atas dua macam mashlahah.
1. Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah uamat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Mashlahah al-Khasanah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali.
Dalam hal ini Mashlahah al-Khasanah adalah merupakan kemaslahatan yang sifatnya pribadi dan sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.


C. Kehujjahan Istishlah.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan mashlahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadist, atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi sebagai hukum. Misal, sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasullah pernah ditanya tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Malik dari Abi Qatadah dinyatakan :
ﺇﻦ ﺭﺳﻭﻝ ﺍﷲ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻳﻪ ﻭﺳﻟﻡ ﻗﺎﻝ ﻋﻦ ﺍﻟﻬﺭﺓ : ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻳﺳﺕ ﺒﻧﺟﺱ ﺇﻧﻣﺎ ﻫﻲ ﻣﻥ ﺍﻟﻂﻭﺍﻔﻳﻥ ﻋﻟﻳﻛﻡ ﻭﺍﻟﻂﻭﺍﻔﺎﺕ
Bahwa Rasullah saw. Bersabda tentang kucing; bahwa kucing itu bukan najis, karena sesungguhnya kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu .
Keberadaan kucing yang senantiasa berada di rumah merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi motivasi hukum dalam hadist ini jelas, yaitu Thawwaf (hewan yang senantiasa berada di rumah, tidur di rumah dan sulit memisahkannya). Berdasarkan sifat ini maka hukum sisa makanan kucing itu tidak najis (suci). Oleh sebab itu, thawwaf merupakan motivasi dari hukum thaharah (suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara kucing di rumahnya.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu :
1. Kemaslahatan itu haruslah merupakan suatu kemaslahatn yang hakiki,dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Yang dimaksud persyaratan ini ialah membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.
2. Bahwa kemaslahatan ini adalah kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan pribadi. Yang dimaksud dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas ummat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan individu atau sejumlah perseorangan yang merupakan minoritas ummat manusia.
3. Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma’. Oleh karena itu, tidak syah mengakui kemaslahatan yang menurut perasaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam kegiatan warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
Ulama golongan Syafi’iyah, pada dasarnya, juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukannya kedalam qiyas. Misalnya,ia meng-qiyas-kan hukuman bagi peminum minuman keras kepada hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang mabuk akan mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina. Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu :
1. Mashalahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan Syara’.
2. Mashlahah itu tidak meninggalkan atau beetentangan dengan nash syara’.
3. Mashlahah itu termasuk kedalam kategori mashlahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hajjiyah, apabila menyangkut kemaslahatan orang banyak bisa menjadi dharuriyyah.
Jumhur ulama uamat Islam berpendapat, bahwasannya mashlahah al-mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadiaan yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma, atau qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah :
1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadist menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini Allah berfirman :
ﻭﻣﺎ ﺍﺭﺳﻟﻧﺎﻙ ﺇﻻ ﺭﺣﻣﺔ ﻟﻟﻌﺎﻟﻣﻳﻥ
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia. (Q.S. al-Anbiya’, 21 : 107).
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat.
2. Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya. Maka sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemaslahatan umat manusia yang terus bermunculan dan apa yang dituntut oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya berkisar pada berbagai kemaslahatan yang diakui oleh Syar’i saja, niscaya akan banyak kemaslahatn manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman, dan pembentukan hukum tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan mereka.
3. Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma. Oleh karena itu tidak syah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam bagian warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena ia bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
4. Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada para mu’allaf (orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadi perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.






SYAR’U MAN QOBLANA
Difinisi Syar'u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyaritkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.
Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
1. Dinasakh syariat kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana) :
• Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
• Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :
1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.
2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.


SADD DZARIAH
سد الذرائع
A. Pengertian Dzari’ah
Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya ‘jalan menuju sesuatu’. Sedangkan menurut istilah dzari’ah dikhususkan dengan’sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan pendapat ini ditentang oeh para ulama’ ushul lainnya, seperti Ibnu Qayyim Aj0Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian lebih tepat kalu dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yakni saad Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
B. Sadd adz-Dari’ah
Imam Syatibi mendefinisika dzari’ah dengan : ‘Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan untuk menuju kepada suatu kerusakan (kemafsadatan)’.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sad adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan sutau kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya, sehingga ia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemashlahatan. Akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Syatibi, ada tiga kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dialarang, yakni :
1) Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
2) Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
3) Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengadung lebih banyak unsur kemafsadatan.
C. Macam-Macam Dzari’ah
Para ulama ushul fiqih membagi dzari’ah berdasarkan dua segi, yakni dilihat dari segi kualitas kemafsadatan dan segi jenis kemafsadatan.
1. Dzari’ah dari Segi Kualitas kemafsadatan
a. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti (qath’i). Misalnya, menngali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan disengaja. Perbuatan seperti ini dilarang, karena perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
b. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya menggali sumur di tempat yang biasanya tidak member mudharat atau menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan bagi orang yang memkannya. Perbuatan seperti ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu adalah apabila diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada emafsadatan. Sedangkan dalam kasus ini jarang sekali.
c. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Seperti menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk perang atau paling tidak untuk membunuh. Selain itu, menjual anggur kepada produsen minuman keras, sangat mungkin anggur tersebut akan diproses menjadi minuman keras. Perbuatan seperti ini dilarang, karena dugaan keras (zhann al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan, sehingga dapat dijadikan patokan dalam menetapkan larangan terhadap perbuatan itu.
d. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti baiy al-ajal (jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Contohnya : jika Ahmad membeli kendaraan dari kendaraan dari Ali secara kredit seharga 20 juta. Kemudian Ahmad menjual kembali endaraan tersebut kepada Ali seharga 10 juta secara tunai, sehingga seakan-akan Ahmad menjual barang fiktif, sementara Ali tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit mobil tersebut, meskipun mobilnya telah jadi miliknya kembali. Jual beli ini cenderung pada riba.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang atau diperbolehkan. Meurut Imam Syafi’I dan Abu Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk dzari’ah tersebut dibolehkan.
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian dzari’ah seperti itu tidak diperbolehkan. Adapun alasan yang dikemukakan keduanya, yakni :
1) Dalam baiy al-ajal perlu diperhatikan tujuannya atau akibatnya, yang membawa kepada perbuatan yang mengandung unsur riba, meskipun sifatnya sebatas prduga yang berat (galabah azh-zhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping perlunya sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang diduga akan membawa kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang suatu perbuatan, berdasarkan kaidah :
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح.
“menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”.
2) Dalam kasus baiy al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual beli karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadaratan. Dalam hal ini Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan dan kemadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa kepada kemafsadatan.
3) Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan wanita yang bukan mukhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau mahramnya.
Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga semata-ata, tetapi Rasulullah SAW. melarangnya, karena perbuatan itu banyak membawa kepada kemafsadatan. Sehingga menurut mereka pengharaman baiy al-ajal memiliki dasar yang kuat dalam syari’at islam.
2. Dzari’ah dari Segi Jenis Kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara lain :
a. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
b. Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suami pertamanya (nikah at-tahlil).
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah kedua bagian di atas terbagi dalam :
1) Kemashlahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatannya.
2) Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat dari pada kemanfaatannya.
Kedua pembagian inipun, menurutnya dibagi lagi menjadi empat bentuk :
a) Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang syara’.
b) Perbuatan yang pada dasarnya di bolehkan atau dianjurkan, tetapi ditujukan untuk melakukan suatu kemafsadatan, seperti nikah tahlil diatas. Pekerjaan seperti inipun dilarang oleh syara’.
c) Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki Allah SWT.
d) Suatu pekerjaaan yang pada dasarnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk kemafsadatan, seperti melihat wajah wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim kemashlahatannya lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.
D. Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
Alasan mereka antara lain :
1. Firman Allah SWT dalam QS. Al-an’am : 108
ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبون الله عدوا بغير علم . . . ( الأنعام : ١٠۸ )
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.
2. Hadits Nabi SAW, antara lain :
إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه. قيل : يا رسول الله, كيف يلعن الرجل والديه؟
قال : يسب ابا الرجل فيسب اباه, ويسب أمه فيسب أمه. (رواه البخارى ومسلم وابو داود)
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, Lalu Rasulullah SAW. ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan Bapaknya. Rasulullah SAW menjawab, “Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan di caci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lainpun akan mencaci ibunya.”
Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sad ad-dzari’ah dalam masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Imam Syafi’I menerimanya apabila dalam keadaan udzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meinggalkan shalat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat dhuhur. Namun, shalat dhuhurnya harus di lakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum Universitas Kairo, Ulama Hanafiyah dan syafi’iyah menerima sad al-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-sekurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul :
a. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertamarang karena. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
b. Dari segi dampaknya ( akibat ), mislnya seorang muslim mencaci maki sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sad al-dzari’ah adalah dalam niat dan akad. Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka, selama tidak ad indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah :
المعتبر في اوامر الله المعني والمعتبر في امورالعبادالاسم و اللفظ
Artinya :
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.”
Akan tetapi, jika tujuan orang berakad dapat ditangkap dari beberapa indicator yang ada, maka berlaku kaidah :
العبرت في العقود بالمقا صد والماني لا بالالفاط والمباني
Artinya :
“Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh dan bentuk formal (ucapan).” (Al-Qarafi, ll : 32)
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatanyya dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya. (Al-Jauziyyah, lll : 114, 119, dan IV : 400)
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum. (Ibnu Hazm, IV : 745- 757)
5. Fath Adz- Dzari’iah
Ibnu Qayyim Aj- Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu adakalanya dilarang yang disebut sad adz-dzari’ah, dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan ya ng disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti di atas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah :
ما لا يتم الوجب الا به فهو واجب
Artinya :
“Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib”.
Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah:
ما دل علا حرام فهو حرام
Artinya :
“Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram.”
Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai fath ad-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, dan sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. (Aj-Juhaili: 874)











AL-‘URF
PENGERTIAN
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.
Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Tabel 1. Tabel perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah
’Urf ’Adah
Adat memiliki makna yang lebih sempit Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak Adat mencakup kebiasaan pribadi
Adat juga muncul dari sebab alami
Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
DALIL KAIDAH
Lafadl al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah:
Dalil aI-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
(QS Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Juga firman-Nya:
(QS.Al-Baqarah[2]: 180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf
Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.
Dalil dari as-Sunnah:
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
QAWAID FIQHIYAH YANG BERKAITAN
Berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash”.
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.
KLASIFIKASI ‘URF
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1. ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2. ‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
1. ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
Misalnya:
a. Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b. Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
2. ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.



Misalnya:
Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1. ‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
2. ‘Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.



SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Alloh Azza wa Jalla berfirman:
(QS. athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
3. ‘Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
4. Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.


5. ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.
PERBANDINGAN DENGAN METODE LAIN
’Urf lebih kuat dari qiyas karena ’urf adalah dalil yang berlaku umum dan bukti bahwa sesuatu memang dibutuhkan (Ibn Abidin). Contoh: sucinya kotoran merpati sesuai ’urf yang terjadi pada mesjid2 bahkan masjid al-haram. Ini tidak bisa diqiyaskan pada korotan ayam.
Perbedaan ’Urf dengan ’Ijma
Tabel 2. Tabel perbandingan antara ’Ijma dengan ’Urf
’Ijma ’Urf
Dasarnya adalah kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syar’i setelah Nabi SAW wafat Tindakan mayoritas individu baik ’awam maupun ulama dan tidak harus dalam bentuk kesepakatan
Harus berdasarkan dalil Syara Tidak harus berdasarkan dalil Syara
’Ijma ada yang sampai kepada kita dan ada yang tidak Relatif sama dengan sejarah
Merupakan hujjah yang mesti dilakukan Tidak menjadi hujjah yang harus dilakukan karena ’urf ada yang shahih dan ada yang bathil

PANDANGAN ULAMA
Berikut adalah praktek-praktek ’Urf dalam masing-masing mahzab:
1. Fiqh Hanafy
a. Dalam akad jual beli. Seperti standar harga, jual beli rumah yang meliputi bangunanya meskipun tidak disebutkan.
b. Bolehnya jual beli buah yang masih dipohon karena ’urf.
c. Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lehan pertanian digarap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
d. Bolehnya mudharib mengelola harta shahibul maal dalam segala hal menjadi kebiasaan para pedagang.
e. Menyewa rumah meskipun tidak dijelaskan tujuan penggunaaannya
2. Fiqh Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sample
b. Pembagian nisbah antara mudharib dan sahibul maal berdasarkan ’urf jika terjadi perselisihan
3. Fiqh Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan
b. Akad sewa atas alat transportasi
c. Akad sewa atas ternak
d. Akad istishna
4. Fiqh Hanbali
a. Jual beli mu’thah
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah.
Para ulama telah sepakat bahwa seorang mujtahid dan seorang hakim harus memelihara ’urf shahih yang ada di masyarakat dan menetapkannya sebagai hukum. Para ulama juga menyepakati bahwa ’urf fasid harus dijauhkan dari kaidah-kaidah pengambilan dan penetapan hukum. ’Urf fasid dalam keadaan darurat pada lapangan muamalah tidaklah otomatis membolehkannya. Keadaan darurat tersebut dapat ditoleransi hanya apabila benar-benar darurat dan dalam keadaan sangat dibutuhkan.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

Abdul Wahab Khalaf berpandangan bahwa suatu hukum yang bersandar pada ’Urf akan fleksibel terhadap waktu dan tempat, karena Islam memberikan prinsip sebagai berikut:
“Suatu ketetapan hukum (fatwa) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu, tempat, dan siatuasi (kondisi)”.
Dengan demikian, memperhatikan waktu dan tempat masyarakat yang akan diberi beban hukum sangat penting. Prinsip yang sama dikemukakan dalam kaidah sebagai berikut:
“Tidak dapat diingkari adanya perubahan karena berubahnya waktu (zaman)”.
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubahan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat keadaan, dan adat.
Jumhur ulama tidak membolehkan ’Urf Khosh. Sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah membolehkannya, dan inilah pendapat yang shohih karena kalau dalam sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.





CONTOH PRAKTEK ‘URF
Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu
1. Konsep Aqilah dalam asuransi
2. Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3. Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.
















AL-QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti “pengukuran sesuatu atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya” . Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili adalah:
Menghubungkan (menyamakan hokum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan ‘illat antara keduanya
Menurut para ahli Ushul Fiqh yang lannya, Qiyas adalah mempersamakan hokum suatu perisiwa yang tidak ada nashnya dengan hokum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
Ulama Ushhul Fiqh memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan Qiyas dalam istinbath hokum. Dalam hal ini, mereke terbagi dalam dua golongan berikut:
Golongan Pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syar’I, yakni merupakan dalil hokum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat Syar’i sebagai alat untuk mengetahui suatu hokum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak. (Abdul Hakim, 1986: 22-24)
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka mereka memberikan definisi qiyas sebagai beikut:
1. Shard Asy-Syari’at manyatakan bahwa qiyas adalah pemindahan hukum yang terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.
2. Al-Human menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hokum suatu kasus kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
Sesuai dengan ta’rif tersebut, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan ‘illat hukumnya telah diketahui menurut suatu cara dari cara-cara mengetahui ‘illat-‘illat hokum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nash, tetapi ‘illat hukumnya adalah sama dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang sudah ada nash tersebut, maka hokum peristiwa yang tidak ada nashnya disamakan dengan hokum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan ‘illat hokum pada kedua peristiwa itu. Sebab hokum itu tidak akan ada sekiranya tidak ada ‘illatnya.



2. Kehujjahan qiyas
Jumhur ulama berpendirian bahwa Qiyas itu adalah menjadi hujjah syar’iyyah (sumber hokum syari’at) bagi hokum-hukum amal perbuatan manusia, dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at. Yang demikian itu apabila pada suatu peristiwa itu tidak ada ketetapan hukumnya dari suatu nash atau ijma’ dan mempunyai persamaan ‘illat denga peristiwa yang mempunyai nash. Golongan ini, oleh para ahli Ushul, dinamai Mutsbitul Qiyas (golongan yang menetapkan kehujjahan qiyas).
Ulama Nizhamiyah, Zhahiriyah dan sebagian ulama aliran Syi’ah berpendapat bahwa Qiyas itu bukan menjadi hujjah syar’iyah yang dapat untuk menetapkan hokum. Mereka ini kemudian terkenal dengan nama Nufatul Qiyas (golongan yang mengingkari atau menafikan kehujjahan qiyas).
Alasan yang dikemukakan jumhur ulama dalam menetapkan kehujjahan Qiyas terdiri atas Al-Quran, As-Sunnah, pendapat dan pebuatan para shahabat, dan logika.
a. Al-Quran
Dalil-dalil dari Al-Quran yang mereka kemukakan sebagai alasan menetapkan kehujjahan Qiyas, ialah:
Pertama, Surat An-Nisa : 59
                              
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(An-Nisa : 59)
Dalam ayat tersebut Tuhan memerintahkan kepada orang-orang Mu’min, bila terjadi perselisihan pendapat perihal hokum sesuatu peristiwa yang di dalam Al-Quran, As-Sunnah dan putusan dari orang-orang yang diserahi kekuasaan tidak ada, maka hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ragu lagi bahwa menyamakan hokum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya kepada peristiwa yang sudah ada nashnya, lataran adanya persamaan ‘illat hukumnya adalah termasuk mengembalikan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya, kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab yang demikian itu berarti mengikuti kepada hokum Allah dan Rasul-Nya.

Kedua, Surat Al-Hasyr : 2:
          •          •                        
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Al-Hasyr : 2)”
Allah swt setelah menerangkan peristiwa yang terjadi pada bani An-Nadhir, disebabkan tindakan mereka melanggar janji yang pernah mereka adakan dengan Rasulullah saw. Dia memerintahkan kepada orang-orang yang berpandangan luas untuk mengambil ibarat kejadian tersebut dalam firman-Nya: “Fa’tabiru ya ulil abshar.” Perintah untuk mengambil ibarat itu maksudnya ialah perintah untuk menganalogikan keadaan yang terdapat pada diri kita sendiri dengan keadaan yang terdapat pada diri mereka. Sebab kita adalah manusia sama dengan mereka. Jika kita mengerjakan seperti apa yang mereka kerjakan, niscaya menerima akibat sebagaimana akibat yang diterima oleh mereka. Menurut sunnatullah bahwa timbulnya suatu akibat ialah karena adanya sebab-sebab yang mendahuluinya. Jika sebab-sebab itu sama, tentu menimbulkan suatu akibat yang sama pula.
b. As-Sunnah
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:

Artinya:
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:

Artinya:
"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.

c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:

Artinya:
"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran..."
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari'at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Qur'an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.
3. Alasan golongan yang tidak menerima qiyas
Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah:
a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan 'illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah SWT:

Artinya: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu..." (al-Isrâ': 36)
b. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab:

Artinya: "Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."
Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ', tidak berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berawanan dengan isi suratnya kepada Mu'adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak menjadikan aI-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.
Golongan ra'yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga kedudukan al-Qur'an bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan giyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.





4. Rukun Qiyas
1. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Quran atau dalam Sunnah Rasulullah. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih(tempat membandingkan). Misalnya khamer yang ditegaskan haramnya dalam ayat:
               
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Beberapa syarat Ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi M.A, adalah:
a. Hokum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pokok (ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) di masa Rasulullah saw, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hokum.
b. Hokum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hokum syara’, bukan hokum akal atau hokum yang berhubungan dengan bahasa, karena pembicaraan kita adalah qiyas syara’.
c. Hokum ashal bukan merupakan hokum pengecualian seperti sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinya puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada apabila (meniadakannya). Tetapi puasanya tetap ada, karena ada hadits yang menerangkan bahwa:
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.bersabda: “Barangsiapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum”. (HR Bukhari Muslim)
Berhubungan daengan hadits tersebut, demikian A. Hanafi menjelaskan, maka orang yang dipaksa tidak dapat diqiyas-kan dengan orang yang lupa.
2. Adanya Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas seandainya ada persamaan 'illatnya. Misalnya hokum haram khamer yang ditegaskan dalam Al-Quran.



Syarat-syarat hokum ashal, menurut Abu Zahra, antara lain adalah:
a. Hokum ashal hendaklah berupa hokum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian Ushul Fiqh adalah hokum yang menyangkut amal perbuatan.
b. Hokum ashal dapat ditelusuri ‘illat (motivasi) hukumnya. Misalnya hukumharamnya khamer dapat ditelusuri mengapa khamer itu diharamkan yaitu karena memabukkan dan bias merusak akal pikiran, bukan hokum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘illat hukumnya (gairu ma’qul al-ma’na), seperti masalah bilangan rakaat shalat.
c. Hokum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad saw. misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.
3. Adanya Cabang (Far'u), yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar, yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas. Far'u disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan), misalnya minuman keras wisky.
Syarat-syaratnya, seperti dikemukakan A. Hanafi, antara lain yang terpenting:
a. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama Ushul Fiqih menetapkan bahwa: ”Apabila datang nas (penjelasan hukumnya dalam Al-Quran atau As-Sunnah), qiyas menjadi batal”. Artinya, jika cabang yang akan di-qiyas-kan itu telah ada ketegasan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah, maka qiyas tidak lagi berfungsi dalam masalah tersebut.
b. ‘Illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat pada ashal.
c. Hokum cabang harus sama dengan hokum pokok.
4. IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada far'u. Seandainya sifat ada pula pada far'u, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal
5. Masalikul ‘Illat (Cara Mencari ‘Illat)
Masalikul ‘illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau ‘illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Diantara cara tersebut, ialah:
1. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan ‘illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. ‘Illat yang demikian disebut ‘illat manshus alaih. Lakukan qiyas berdasarkan ‘illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu berdasarkan nash. Petunjuk nash tentang sifat sesuatu kejadian atau peristiwa yang merupakan ‘illat itu ada dua macam yaitu :

a. Dalalah Sharahah, ialah penunjukan lafazh yang terdapat dalam nash kepada ‘illat hukum jelas sekali.Atau dengan kata lain bahwa lafazh nash itu sendiri yang menunjukan ‘illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat dalam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya.Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath’I ( apabila penunjukan kepada ‘illat hukum itu pasti dan yakin, tidak mungkin dialihkan kepada hukum yang lain). Dan yang kedua ialah dalalah sharahah yang dzanni ( apabila penunjukan nash kepada ‘illat hukum itu adlah berdasarkan dugaan keras).
b. Dalalah ima’ ( isharah ), ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain dan sifat itu merupakan ‘illat ditetapkannya suatu hukum. Jika penyertaan sifat itui tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu
Ada beberapa macam dalalah ima’, diantaranya ialah:
• Mengerjakan suatu pekerjaan karena ada terjadi sesuatu peristiwa sebelumnya. Contohnya seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat.
• Menyebutkan suatu sifat bersamaan ( sebelum atau sesudah ) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai ‘illat tentulah tidak perlu disebutkan.Contohnya, adalah Nabi SAW bersabda:
لا يحكم احدكم بين اثنين وهو غضبان
Artinya : “Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang ( yang berpekara ) dalam keadaan ia sedang marah. ( HR. Bukhori Muslim).
• Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkandua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW :
للراجل سهم وللفارس سهم
Artinya : “ Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedangkan barisan berkuda mendapat dua bagian. ( HR. Bukhari Muslim ).
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi ‘illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
• Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT: ( QS.At-Thalaq : 6 )
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat wajibnya pemberian nafkah kepada istri yang ditalaq ba’in dan menyusukan anak menjadi syarat pemberian upah menyusukan anak.
• Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian ( istimewa ) dan pengecualian (Istidrak).

2. Ijma yang menunjukan
Maksudnya, ialah ‘illat itu ditetapkan dengan ijma. Seperti belum baligh ( masih kecil ) menjadi ‘illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal ini disepakati oleh para ulama.
3. Dengan Penelitian
Ada beberapa cara penelitian itu dilakukan :
a) Munasabah, ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut itu ialah persesuaian yang dapat diterima oleh akal,karena persesuaian itu ada hubungannya, dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemadoratan bagi manusia
b) Assabru wa taqsim. Assabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan.Assabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atu kejadian. Tetapi tidak ada nash atau ijma yang menerangkan ‘illatnya.Contohnya : Para ulama sepakat bahwa wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yang menerangkan ‘illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin yang dijadikan ‘illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan ‘illat, ialah belum baligh, gadis dan belum dewasa. Pada ayat 6 surat An-Nisa tidak dewasa dapat dijadikan ‘illat seorang wali mengusai harta seorang anak yatim yang belum dewasa.Karena itulah ditetapkan belum dewasa sebagai ‘illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada dibawah perwaliannya.
c) Tanqihul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara’ dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai ‘illat.Sedang sifat yang tidak sama ditinggalakan.Contohnya pada ayat 25 surat An-Nisa diterangkan bahwa hukuman pada budak perempuan adalah separoh hukuman orang merdeka, sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-laki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya, maka yang sama ialah sifat kebudakan.Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai ‘illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-laki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separoh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
d) Tahqiqul Manath,ialah menetapkan ‘illat pada ashal , baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian ‘illat tersebut disesuaikan dengan ‘illat pada fara’. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa ‘illat itu dapat ditetepkan pada fara’ dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian.Contohnya, ialah ‘illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat ulama jika ‘illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dalam kubur. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil harta dari tempat penyimpanannya ( kubur ). Sedangkan Hanafiyyah tidak menjadikan sebagai ‘illat, karena itu pencuri kafan tidak potong tangannya.

ISTIHSAN
Sumber hukum ialah sumber pengambilan di dalam menetapkan sesuatu hukum syarak, sama ada ia berasaskan sumber yang disepakati oleh ulama mujtahid ataupun sumber yang tidak disepakati oleh mereka. Sumber hukum dalam perundangan Islam secara umumnya dapat dibahagikan kepada dua bagian yaitu Dalil Qat’I dan Dalil Zanni.
Dalil Qat’i ialah dalil-dalil yang disepakati oleh ulama. Dalil tersebut dibagi kepada beberapa bagian yaitu, Al-Quran, Al-Sunnah, Ijmak,dan Al-Qiyas. Dalil Zanni ialah dalil-dalil yang tidak disepakati oleh sebaigian ulama. Contohnya seperti Istihsan, Masalih Mursalah, Uruf, Istishab dan sebagainya.(Abdul Latif Muda 1997:62)
Istihsan merupakan salah satu daripada sumber hukum perundangan Islam tetapi ianya tergolong dalam sumber hukum yang tidak disepakati. Oleh yang demikian, ulama berselisih pendapat tentang kehujahan Istihsan, ini kerana terdapat ulama yang menerima dan juga menolak Istihsan. Antara ulama yang menerima kehujahan Istihsan ialah ulama Hanafiah, Imam Malik dan sebahagian ulama Hanbali. Manakala pula, antara ulama yang menolak kehujahan Istihsan ialah Imam Shafie dan ulama shafi’I serta sebagian ulama Hanbali.(Abdul Latif Muda 1997:117)
Ulama yang menerima Istihsan berpendapat bahawa Istihsan adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan awam. Manakala pula, menurut sebagian ulama yang menolak kehujahan Istihsan, jika Istihsan dibenarkan ini boleh membuka jalan ke arah penggunaan akal fikiran tanpa sekatan yang mana ia terdedah kepada kesilapan dalam menetapkan hukum. Hal ini kerana hukum akan dibuat berdasarkan nafsu dan fikiran, sedangkan yang berhak membuat hukum adalah Allah s.w.t. (Amir Husin Mohd Nor 2002:36)
1. Pengertian Istihsan
Istihsan dari segi bahasa ialah menganggap sesuatu itu baik atau sesuatu yang disukai oleh seseorang serta cenderung ke arahnya sekalipun dipandang buruk (tidak disukai) oleh orang lain. Istihsan dari segi istilah pula dapat di bagi kepada beberapa pandangan.(Hassan Ahmad 1998:300)
Menurut Mazhab Hanafi terdapat dua pengertian iaitu :
1) Qiyas yang tersembunyi illahnya kerana halusnya atau jauhnya dari ingatan hati lagi berlaku didalam keadaan menentang Qiyas yang jelas illahnya kerana bersegeranya kepada ingatan hati pada peringkat permulaan.
2) Dikecualikan masalah sempurna daripada konsep menyeluruh atau kaedah
umum kerana ada dalil khusus yang mengkehendaki pengecualian itu sama
ada dalil khusus itu terdiri daripada nas atau keadaan yang memaksa (darurat)
atau uruf atau kepentingan (maslahat) atau lainnya. (Hassan Ahmad 1998:299)


Menurut Mazhab Maliki Istihsan ialah :
Mengutamakan tinggal sesuatu dalil dan membolehkan menyalahinya kerana ada dalil lain menentang sebahagian daripada kehendaknya.(Hassan Ahmad 1998:302)
Menurut Mazhab Hanafi :
Berpaling didalam menghukum sesuatu masalah daripada masalah-masalah yang sebanding dengannya karena ada dalil yang khusus terdiri dari Al-Quran atau Sunnah.(Hassan Ahmad 1998:303)
Menurut Mazhab Shafie :
Sesuatu perkara yang difikirkan baik oleh mujtahid.(Hassan Ahmad 1998:303)
Para ulama mendefinisikan Istihsan sebagai beralih dari Qiyas jaliy kepada Qiyas khafiy atau mengecualikan masalah juz’iyyah dari asal yang kulliy atau kaedah yang umum berdasarkan kepada dalil yang menyebabkan peralihan ini. Antara ciri-ciri Istihsan ialah beralih dari menggunakan Qiyas jaliy kepada menggunakan Qiyas khafiy berdasarkan dalil tertentu. Selain itu juga,ciri Istihsan ialah menggunakan sesuatu masalah dari asal atau kaedah yang umum berdasarkan kepada dalil tertentu.(Amir Husin Mohd Nor 2002:34)
Secara rumusannya Istihsan adalah beralih daripada hukum yang diistinbatkan melalui Qiyas jaliy kepada hukum yang dikeluarkan melalui Qiyas khafiy atau pengecualian satu-satu masalah juz’iyyah daripada kaedah yang berbentuk kulliy kerana terdapat dalil lain yang lebih disenangi oleh seseorang mujtahid untuk berbuat demikian.
Jelasnya adalah sebagai berikut: Bila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedang untuk mencari hukumnya terdapat dua jalan yang berbeda beda, jalan yang satu adalah jelas dapat memberi ketetapan hukumnya dan jalan yang lain samar samar, yakni dapat menetapkan hukumnya dan dapat pula menetapkan hukum yang lain. padahal pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk mentarjihkan jalan yang samar samar, maka ia lalu meninggalkan jalan yang nyata tersebut untuk menempuh jalan yang samar samar itu. contohnya: Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca al Qur’an berdasarkan istihsan, sedang menurut menurut qiyas hukumnya haram dengan alasan logika sebagai berikut:
-qiyas: Wanita yang haid diqiyaskan kepada orang junub, karena illatnya sama yaitu tidak suci, sehingga orang yang haid haram membaca al qur’an
- Istihsan: orang yang haid berbeda dengan orang yang junub karena haid waktunya lama.
Oleh karena itu orang yang haid diperbolehkan membaca al Qur’an agar mendapat pahala seperti orang laki laki, kalau tidak boleh, wanita tidak dapat pahala ibadah apapun sewaktu haid.
Demikian juga bila ia mendapatkan suatu dalil kulli yang menetapkan suatu hukum, kemudian setelah ia mendapatkan dalil lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli itu. contoh: Jual belì salam (sistem pesanan). Menurut dalil kulli, syara’ melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad, sedangkan berdasarkan istihsan diperbolehkan dengan alasan manusia berhajat kepada itu dan sudah menjadi adat mereka serta dianggap membawa kebaikan bagi manusia
2. Kehujahan Istihsan
a. Golongan syafi’iyah menolak istihsan karena berhujah dengan istihsan dianggap menetapkan suatu hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata mata didasarkan hawa nafsunya
Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”

b. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkan istihsan dengan pertimbangan istihsan merupakan usaha melakukan qiyas khafi dengan mengalahkan qiyas jally.ini semata mata utk kemaslahatan kehidupan, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu,
sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
Contoh Istihsan
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalahhak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.
Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.
Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.
Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.




3. Macam-Macam Istihsan
Dengan memperhatikan ta’rif istihsan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, nyatalah bahwa istihsan itu ada 2 macam:
a. Mentarjihkan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atas qiyas yang nyata, berdasarkan suatu dalil. Ulama Hanafiyah menamakan istihsan semacam ini dengan istihsan-qiyas atau qiyas-khafi
b. Mengecualikan hokum juziyah dari hokum kuliyah dengan suatu dalil. Istihsan macam kedua ini oleh ulama Hanafiyah disebut istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hokum kulli tersebut adalah karena darurat atau karena suatu kepentingan yang mengharuskan adanya penyimpangan dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindari kesulitan.

MADZHAB SHABI
PENDAHULUAN
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat : Al-Qur’an, Al- Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas,dan jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama Al-Qur’an, kedua Al-Sunnah, ketiga Al-Ijma’ dan keempat Al-Qiyas.
Empat sumber hukum yang telah disebutkan di atas, telah disepakati dan tidak ada perselisihan di antar ulama.
Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan Syaru Man Qablana.
Fatwa Shahabat (Madzhab Shahabi) termasuk salah satu dalil yang masih diperselisihkan oleh para ulama atas penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Sehingga, hal ini sangatlah penting bagi kita sebagai generasi Muslim untuk membahas lebih dalam lagi tentang Fatwa Shahabat ini.
Untuk memeberikan pemahaman yang mendalam mengenai Madzhab Shahabat (Qaulus-Shahabat), maka dalam makalah ini akan kami sajikan beberapa bahasan, yaitu :

1. Keadaan para shahabat setelah Rasulullah SAW. wafat
2. Pengertian Madzhab Shahabat
3. Dalil-dalil tetang Madzhab Sahabat
4. Kehujjahan Madzhab Shahabat
5. Kesimpulan
A. KEADAAN PARA SHAHABAT SETELAH RASULULLAH SAW. WAFAT
Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dalam mebentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW. Dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Di antara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang Mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas. Kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.



B. PENGERTIAN MADZHAB SHAHABAT
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Madzhab Shahabat alangkah lebih baiknya kalau kita terlebih dahulu memahami siapakah Sahabat yang dimaksud dalam bahasan ini. Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqih menybutkan bahwa yang dimaksud Shahabat dalam konteks ini adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syariat dari beliau.
Sedangakan Chaerul Umam dalam bukunya menyatak bahwa menurut para Ulama Ushul Fiqih yang dimaksud dengan Shahabat adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, serta dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW. Ada pula yang mempersempit identitas Shahabat itu dengan “Orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.”
Walaupun ada beberapa versi pendapat Ulama tentang pendifinisian Shahabat, tapi yang jelas definisi-definisi di atas telah memberikan batasan kepada kita dalam mengartikan dan memahaminya, sehingga tidak akan terjadi kerancuan pemahaman tentang hal itu.
Kemudian, Madzhab Sahabat yang lazimnya juga disebut Qaulus-Shahabi maksudnya adalah pendapat-pendapat Shahabat dalam masalah-masalah Ijtihad. Dengan kata lain Qaulus-Shahabi adalah pendapat para Shahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para Ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.
Hal senada tentang pengertian Madzhab Shahabat juga ditulis oleh H. A. Jazuli dalam buku Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam yang diterbitkan oleh Raja Grafindo Persada halaman 211.
C. DALIL-DALIL TENTANG MADZHAB SHAHABAT
Dalam menetapkan fatwa-fatwa Shahabat sebagai hujjah, jumhur fuqaha mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah SWT. Yang berbunyi :
 •     •      
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”. (At-Taubah : 100).
2. Sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) shahabatku, sedangkan shahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh allah swt. Telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti para Shahabat. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena itulah fatwa-fatwa mereka dapat juga dijadikan hujjah.
Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Nabi), kepercayaan umat kepada shahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa shahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan shahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan argumentsi yang bersifat akal atau rasional (dalil aqli) ialah :
a. Para Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereak lebih layak untuk diikuti.
b. Pendapat-pendapat yang dikemukakan para Shahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyabutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. tanpa menyebabkan bahwa hal itu datang dari Nabi, karena tidak ditanya sumbernya. Dengan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kenungkinan besar berasal dari nash (hadits) serta sesuai dengan daya nalar rasional.
c. Jika pendapat para Shahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang hidup sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda dengan pendapat Shahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para Shahabat karena Rasulullah SAW. bersabda :
“Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.
D. KEHUJJAHAN MADZHAB SHAHABAT
Pendapat Shahabat tidak menjadi hujjah atas Shahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat Shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi’n. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah :
1. satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi dalam Madzhab Qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam salah satu riwayat.
Ibnul Qayyim termasuk Ulama yang sependapat dengan hal ini, bahwa pendapat shahabat dapat dijadikan hujjah. Sebagaimana dikutip oleh Syeikh Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh beliau (Ibnul Qayyim) berpendapat bahwa pendapat para Shahabat lebih mendekati pada Al-Quran dan as-sunnah dibanding pendapat para Ulama yang hidup sesudah mereka, dengan mengatakan: “Bila seorang shahabat mengemukakan suatu pendapat, atau menetapkan suatu hukum, atau memberikan suatu fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang hanya diketahui oleh para Shahabat, maupun pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang khusus diketahui Shahabat, mungkin didengar langsung dariRasulullah SAW. Atau didengar dari Rasulullah melaui Shahabat yang lain.
Alasan pendapat ini ialah firman Allah :
  •  ••         ….
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (Ali Imran : 110)
Alasan yang kedua adalah hadits Rasul :
“Shahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk”.
2. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam madzhabnya yang jadid juga Abul Hasan Al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya, yaitu : “Tidak menetapkan hukum atau memberikan fatwa kecuali dengan dasar yang pasti, yaitu Al-Qur’an dan al-hadits, atau sebagimana yang dikatakan para ilmuan yang dalam suatu hal tidak berbeda pendapat (ijma’), atau dengan mengkiaskan kepada sebagian dasar ini”.
Kemudian pernyataan ini dikoreksi oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah bahwa ulama yang mengatakan imam Syafi’i dalam qaul jadidnya tidak mau mengikuti pendapat Shahabat adalah tidak benar.s
Mereka yang berpendapat seperti ini menggunakan dasar firman Allah :
   
“….Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (Al-Hasyr : 2)
Mereka juga beralasan bahwa para shahabat kadang-kadang memilki ijtihad yang tidak sama dengan ijtihad shahabat yang lain.
3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, Qaul Qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad Bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat Shahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat shahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat Shahabat didahulukan.
Dalam hal ini, Abu Hanifah berkata : “Jika kami tidak menjumpai dasar- dasar hukum dari Al-Quran dan hadits, maka kami mempergunakan fatwa- fatwa Shahabat. Pendapat para Shahabat tersebut, ada yang kami ambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada pendapat selain mereka”.
Walupun demikian, Syeikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa jumhur ulama khususnya dari ke-empat madzhab mengambil dan mengikuti Madzhab Shahabat dan tidak menghindarinya.
Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in sebagaimana dikutip oleh H. A. Jazuli dkk. Dalam bukunya Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam berkata bahwa Fatwa Shahabat tidak keluat dari 6 bentuk:
1) Fatwa yang didengar Shahabat dari Nabi
2) Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3) Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Quran yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita
4) Fatwa yang disepakati oleh tokoh Shahabat sampai kepada kita melalui salah seorang Shahbat
5) Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksub-maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6) Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.
E. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat dipahami bahwa tidak semua Ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti Madzhab Shahabat sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil Madzhab Shahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam Madzhab yang empat (Imam, Maliki, Imama Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).
Kemudian, alasan Ulama menggunakan pendapat Shahabat sebagai hujjah, mereka berdasarkan beberapa dalil baik naqli maupan aqli. Salah satu di antara dalil tersebut adalah:
Firman Allah SWT. Yang berbunyi :
 •     •      
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”. (At-Taubah : 100).
Dan juga dalil aqli, yaitu:
“Para Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereke lebih layak untuk diikuti”.
Juga dikatakan bahwa: Pendapat Shahabat tidak menjadi hujjah atas Shahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat Shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi’n. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah:
1. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam salah satu riwayat.
2. Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab Shahabat secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam madzhabnya yang jadid juga Abul Hasan Al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, Qaul Qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad Bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat shahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat shahabat didahulukan.
Wallahu a’lam















DAFTAR PUSTAKA
Al-A’jam, Rafiq. 1983. Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha. Beirut: Dar al-Ilmi.
Al-Bugha, Musthafa Dib. Atsar al-Adillah al-Mukhtalafah fiha fi al-Fiqh al-Islamy. Damaskus: Dar el-Qalam, 1420 H/1999M, cet. III
Al-Jawaziyah, Ibnu Qayyim. TT. I’lam al-Muwaqi’in. Beirut: Dal al-Jil.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Nadawi, Ali Ahmad. 1986. Al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Damaskus: Dar al-Qalam.
Al-Qarrafi, Syaihabuddin Ahmad ibd Idris. TT. al-Furuq fi Anwa’il Buruq. Beirut: ‘Alam al-Kutb.
Al-Yamani, Abu Bakar al-Ahdal. TT. al-Fara’id al-Bahiyyah. Semarang: al-Munawar.
Al-Zarqa’, Ahmad bin Muhammad. 1988. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Beirut: al-Qalam.
Al-Zuhaily, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar el- Fikr al-Mu’ashir, 1424 H/2004 M, vol. 2, cet. II
Bisri, M. Adib. 1977. Risalah Qawa’id Fiqh. Kudus: Menara Kudus.
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Haidar, Ali. TT. Darru al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam. Beirut: Maktabah al-Nahdhah.
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/8/1/pustaka-129.html
Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Terj.). Bandung: Pustaka.
Ibnu Nujaim, Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim. 1985. al-Asybah wa al-Naqza’ir. Beirut: Dar al Kutb al-Alamiah.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Ushul Fiqh. Damaskus: Dar el-Qalam, 1398 H/1978 M, cet. XII
Madjid, Nurcholish. 1995. “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadis: Implikasinya dalam Pengembangan Syari’ah”, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Muhsin, Abdullah bin Abdul. 1980. Ushul al-Madzahib al-Imam Ahmad. TTP: TP.
Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar, Juz I. Bairut: Dar al-Fikr.
Sabiq, Ahmad bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Majalah Al Furqon Edisi Khusus, Romadhon/Syawal 1427 (Okt/Nov ’06)
Syarifuddin, Amir. 1990. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos.
Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah: The Saudi Publishing House.






DAFTAR PUSTAKA
Jazuli, H. A; dkk, 2000, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Khallaf, Abdul Wahhab, 1978, Ilmu Ushul Fiqh, An-Nasyr Wattawzi’, Kuwait
Syafi’I,Rahmat, 2007 Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung
Umam, Chaerul, dkk, 2000, Ushul Fiqih 1, Pustaka Setia, Bandung
Zahrah, Al-Imam Muhammad Abu, 1957, Ushul Fiqh, Darul Fikri Al-Arabi









DAFTAR PUSTAKA
1. Ali Yafie, KH.,Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah : Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat Al-Ammah (Edit.) Budhy Munawar-Rachman, Jakarta : Yayasan paramadina, 1994.
2. Nasrun Haroen, DR., H., M.A., Ushul Fiqh I, Ciputat : P.T. Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1997.
3. Muhlisin Bisyri,Drs., H., SE., M.Ag., Diktat Sederhana Ushul Fiqh II, Semarang : SETIA WS, Tanpa Tahun.
4. Abdul Wahhab Khallaf, Prof, Ilmu Ushul Fiqh, (pen.), Moh. Zuhri, Drs, H, Dipl. TAFL, dan Ahmad Qarib, Drs, MA, Semarang : Dina Utama, 1994.




Untuk Download Artikel Klik Gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar