WAKAF
A. Konsep Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah ( terkembalikan), al tahbis ( tertahan ), al tasbil ( tertawan ), dan al man’u ( mencegah ). Sedangkan menurut istilah syara yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut :
a. Muhammad Al Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah :
حبس مال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته علي مصرف مباح موجود
“ Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan ( memotong ) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaanya atas mushrif ( pengelola ) yang dibolehkan adanya.”
b. Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni dalam kitab Kifayat al-Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah :
ممنوع من التصرف في عينه و تصرف منا فعه في البر تقربا الي الله تعالي
“ Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda ( zatnya ) , dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.”
c. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha Allah SWT.
d. Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal zat ( ‘ain ) –nya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara’ , serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.
Dari definisi-definisi yang telah dijelaskan oleh para ulama di atas, Kami dari kelompok 17 dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “wakaf adalah menahan sesuatu kekayaan yang kekal zatnya, yang memungkinkan untuk dapat diambil kemanfa’atannya untuk tujuan kebaikan oleh orang lain. Dan benda yang sudah diwakafkan tidak boleh diperjual belikan.”
2. Rukun dan Syarat Wakaf
Dalam wakaf ada syarat-syarat yang bersifat umum, maka akan dijelaskan syarat-syarat umum terlebih dahulu kemudian dijelaskan rukun-rukunnya dan syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun tersebut.
Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum adalah sebagai berikut.
a. Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak untuk waktu tertentu. Bila seseorang mewakafkan kebun untuk Jangka waktu 10 tahun misalnya, maka wakaf tersebut dipandang batal.
b. Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk mesjid, mushola, pesantren, pekuburan (makam) dan yang lainnya. Namun, apabila seseorang mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang sah sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga hukum yang menerima harta-harta wakaf tersebut.
c. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan. Bila wakaf digantungkan dengan kematian yang mewakafkan, ini bertalian dengan wasiat dan tidak bertalian dengan wakaf. Dalam pelaksanaan seperti ini, berlakulah ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan wasiat.
d. Wakaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya perkara hak khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya.
Adapun rukun-rukun wakaf ialah :
a. Orang yang berwakaf (wakif)
b. Harta yang diwakafkan (mauquf)
c. Tujuan wakaf (mauquf ‘alaih)
d. Pernyataan wakaf (shigat waqf)
Syarat-syarat yang berkaitan dengan yang mewakafkan (wakif) ialah wakif mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi. Orang yang dikatakan cakap bertindak tabarru adalah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
Dalam fiqh islam dikenal dengan Baligh dan Rasyid, baligh dititikberatkan pada umur dan rasyid dititikberatkan pada kematangan pertimbangan akal, maka akan dipandang tepat bila dalam cakap bertabarru disyaratkan rasyid, yang dapat ditentukan dengan penyelidikan.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan harta yang diwakafkan ialah harta wakaf (mauquf) merupakan harta yang bernilai, milik yang mewakafkan ( wakif), dan tahan lama untuk digunakan. Harta wakaf dapat juga berupa uang yang dimodalkan, berupa saham pada perusahaan, dan berupa apa saja yang lainnya. Hal yang penting pada harta yang berupa modal ialah dikelola dengan sedemikian rupa (semaksimal mungkin) sehingga mendatangkan kemaslahatan atau keuntungan.
Syarat-syarat tujuan wakaf ialah bahwa tujuan wakaf (mauquf ‘alaih) harus sejalan (tidak bertentangan) dengan nilai-nilai ibadah, sebab wakaf merupakan salah satu amalan shadaqoh dan shadaqoh merupaka salah satu perbuatan ibadah. Maka tujuan wakaf harus termasuk kategori ibadah atau sekurang-kurangnya merupakan perkara-perkara mudah menurut ajaran agama islam, yakni yang dapat menjadi sarana ibadah dalam arti luas. Harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila wakaf diperuntukkan untuk membangun tempat-tempat ibadah umum, hendaklah ada badan yang menerimanya.
Syarat-syarat shigat waqf ialah bahwa wakaf di-shigat-kan, baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan isyarat. Wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan wakif (ijab) dan kabul dari mauquf ‘alaih tidaklah diperlukan. Isyarat hanya boleh dilakukan bagi wakif yang tidak mampu melakukan lisan dan tulisan.
3. Macam-macam Wakaf
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian :
a. Wakaf ahli (khusus)
b. Wakaf khairi (umum)
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada di perpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan.Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Masalah yang mungkin akan timbul dalam wakaf ini apabila turunan atau orang-orang yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda wakaf, mungkin juga yang disebut atau ditunjuk untuk memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah. Bila terjadi hal-hal tersebut, dikembalikan pada syarat umum, yaitu wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu. Dengan demikian, meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda wakaf telah punah, buku- buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda wakaf yang digunakan oleh keluarga yang lebih jauh atau apabila tidak ada lagi digunakan oleh umum.
Dan apabila wakaf ahli setelah melampaui ratusan tahun mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya sesuai dengaan tujuan wakaf yang sesungguhnya, terlebih bila turunannya dimaksud telah berkembang dengan sedemikian rupa. Berdasarkan hal ini di Mesir wakaf ahli dihapuskan dengan Undang-Undang No. 180 tahun 1952.
Dan adapun yang dimaksud dengan wakaf khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.
B. Dasar Hukum Wakaf
1. Al-Qur’an
Firman Allah SWT, dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 77 :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS Al-Hajj :77).
Dalam ayat lain yaitu surat al-‘imran : 92, Allah berfirman :
•
Artinya :
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Al-‘imran : 92).
2. As-sunnah
Dalam salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Imam jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda :
إذا مات ابن أدم إنقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له
“Apabila meninggal seorang manusia, maka terputuslah (terhenti) pahala perbuatannya, kecuali tiga perkara : (a) shodaqoh zariah (wakaf), (b) ilmu yang bermanfaat, baik dengan cara mengajar maupun dengan karangan dan (c) anak yang shaleh yang mendoakan orang tuanya.”
3. Ijtihad Ulama Tentang Wakaf
Hukum wakaf menurut ijtihad para imam mazhab adalah sunnat dan bertujuan untuk kemaslahatan ummat, misalnya untuk pembangunan yang bersifat keagamaan baik pembangunan fisik maupun non fisik.
Sebagaimana dikemukakan dalam tulisan-tulisan terdahulu, bahwa tidak ada satu ayat Al-Qur’an dan Al-Hadis yang menjelaskan wakaf secara limitatif. Kalaupun ada ayat Al-Qur’an dan Al-Hadis hanya ditafsirkan oleh para ulama pengertiannya adalah wakaf. Lazimnya, sumber hukum lain yang digunakan para ahli Fikih sebagai dasar hukum wakaf adalah Ijtihad Ulama. Ijtihad Ulama memperjelas hukum, karena sumber hukum utama (Al-Qur’an dan Al-Hadis) kurang jelas atau memerlukan pemikiran lebih lanjut
Ulama besar yang ijtihadnya selalu dijadikan sumber rujukan hukum seperti pemikiran Abu Hanifah, As-Syafi’i, Malik, Ahmad Bin Hambal, Muhammad dan Abu Hanifah. Pemikiran-pemikiran ulama di atas sering digunakan sebagai acuan hukum dalam perwakafan.
Secara umum, hukum wakaf menurut ijtihad para imam mazhab adalah sunnat dan bertujuan untuk kemaslahatan ummat, misalnya untuk pembangunan yang bersifat keagamaan baik pembangunan fisik maupun non fisik. Selain dari itu, para ulama imam mazhab juga semufakat bahwa ibadah wakaf merupakan amal jariah, yaitu amal yang bersifat kebendaan yang pahalanya terus menerus mengalir bagaikan air tidak berhenti selama benda tersebut dimanfaatkan.
Namun demikian, ulama imam mazhab berbeda pemikirannya dalam hal memahamkan wakaf itu sendiri. Misalnya, apakah harta wakaf itu masih kepunyaan orang yang berwakaf atau sudah lepas pada waktu harta itu diwakafkan?
Sebagai bahan pengetahuan, berikut ini dikemukakan pendapat masing-masing imam mazhab mengenai wakaf, sehingga dapat memperjelas pemikiran dan prinsip yang mereka gunakan dalam hal wakaf.
a. Mazhab Hanafi
Mazhab imam Hanafi merupakan aliran fiqih yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu Hanifah, mazhab ini banyak menggunakan ra’yu atau hasil fikiran. Mazhab ini bermula di Irak. Saat itu Irak merupakan tempat pengembangan fiqih aliran ra’yu yang berakar dari masa sahabat Abdullah bin Mas’ud yang dikirim Umar bin Khattab untuk menjadi guru dan qadhi di Kufah, Irak, dengan membawa faham fiqih Umar. Sedangkan Umar bin Khattab terkenal sebagai ahli hukum Islam yang hasil ijtihadnya banyak menggunakan tujuan hukum dengan memahami ayat atau hadis secara rasional. Metode Ijtihad yang mempengaruhi mazhab ini adalah qiyas, istihsan, urf dan hiyal syar’iyyah (Hilah).
Dalam hal wakaf ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta yang telah diwakafkan tetap menjadi milik orang yang berwakaf dan boleh ditarik kembali. Dengan demikian harta itu tetap milik orang yang berwakaf, hanya hasil dan manfaatnya saja yang digunakan untuk tujuan wakaf. Namun demikian Abu Hanifah memberikan pengecualian terhadap wakaf mesjid, wakaf ditentukan oleh keputusan mahkamah/pengadilan dan wakaf wasiat, ini tidak boleh ditarik kembali (Wahbah Zuhaily, 1985).
Abu Hanifah menjelaskan dengan diwakafkanya suatu harta bukan berarti bahwa harta tersebut lepas dari pemiliknya. Oleh karena itu, bolehlah kembali dan mengambil kembali harta yang telah diwakafkan. Bahkan boleh pula untuk menjualnya. Untuk ini Abu Hanifah memandang wakaf sama halnya dengan barang pinjaman, dan sebagai barang pinjaman tentu saja pemilik tetap memiliki harta itu serta boleh meminta dan menjualnya kembali kapan saja dikehendakinya (Wahbah Zuhaily, 1985).
b. Mazhab Imam Maliki
Menurut mazhab ini, pemilik dari harta wakaf sama seperti pendapat mazhab imam Abu Hanifah, yaitu harta wakaf tetap milik orang yang berwakaf. Perbedaannya dengan ijtihad mazhab Abu Hanifah hanya dalam hal mentasarufkannya saja. Kalau Abu Hanifah membolehkan harta itu dialihkan, sedangkan mazhab imam Maliki tidak membolehkannya selama harta tersebut masih berada dalam status wakaf.
Namun demikian, menurut mazhab ini boleh berwakaf untuk jangka waktu tertentu, dan bila masa yang telah ditentukan berlalu, bolehlah orang yang berwakaf mengambil kembali harta yang telah diwakafkannya. Pendapat mazhab imam Maliki beralaskan kepada hadis Ibnu Umar, ketika Rasulullah menyatakan kepada Umar “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedekahkan hasilnya”. Menurut imam Maliki Rasulullah hanya menyuruh mensedekahkan hasilnya saja. Dari penjelasan itu, wakaf boleh untuk masa waktu tertentu. Lebih lanjut imam Maliki mengemukakan bahwa tidak ada satu dalil yang mengharuskan wakaf itu untuk selama-lamanya (Wahbah Zuhaily, 1985).
c. Mazhab Imam Syafi’i
Ijtihad imam Syafi,i berbeda dengan ijtihad imam sebelumnya. Imam Syafi’i berpendapat bahawa harta yang telah diwakafkan terlepas sama sekali dari si pewakaf yang telah mewakafkannya, dan menjadi milik Allah. Oleh karena itu, menurut imam Syafi’i harta wakaf itu berlaku untuk selamanya, dan wakaf dengan masa tertentu tidak boleh sama sekali.
Alasan imam Syafi’i adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar mengenai tanah di Khaibar, imam Syafi’i memahamakan bahwa tindakan untuk mensedekahkan hartanya dengan tidak menjualnya, mewariskannya dan tidak menghibahkannya pada masa itu didiamkan sahaja oleh Rasulullah. Manakala diamnya Rasulullah sebagai hadis Taqriry. Karena itu wakaf itu berlaku untuk selamanya.
d. Mazhab Imam Hambali
Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan berkembang di Baghdad pada akhir abad ke-2. Semula Abu Hanifah mengikut fiqih aliran ra’yu kepada Imam Abu Yusuf, murid Abi Hanifah, kemudian ia melakukan ijtihad sendiri. Dalam berijtihad beliau menggunakan metode qiyas, istihsan, saad adz-dzariah, dan al-maslahah al-mursalah.
Ahmad bin Hambali mengemukakan ijtihadnya bahawa apabila seseorang telah mewakafkan hartanya, maka ia tidak lagi memiliki kekuasan bertindak atas harta benda yang diwaqafkan tersebut, dan wakaf berlaku untuk selamanya. Hambali juga mengemukakan bahawa harta yang telah diwakafkan tidak boleh ditarik kembali. Ia juga mengemukakan ijtihad bahwa benda yang diwakafkan itu haruslah benda yang boleh dijual, namun setelah menjadi wakaf tidak boleh dijual (Wahbah Zuhaily, 1985).
Menurut mazhab ini, wakaf terjadi kerana dua hal, pertama, kerana kebiasaan (urf), lazimnya wakaf model ini tidak disebutkan secara lisan, misalnya seseorang membina mesjid, kemudian ia mengizinkan orang lain sholat di dalamnya, dengan cara seperti ini secara otomatis boleh dikatan sebagai wakaf. Kedua, wakaf dengan lisan, misalnya ia memakai kata-kata habatsu, wakaftu, sabaltu, tasadaqtu, abdadtu, harramtu. Bila ia menggunakan kalimat seperti itu, ia harus mengiringinya dengan niat untuk berwakaf.
4. Fatwa DSN MUI Tentang Wakaf Uang
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang
KEPUTUSAN FATWA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Tentang WAKAF UANG
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah
Menimbang :
1. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain, adalah: yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tesebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada, “(al-Ramli. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, [Beirut: Dar alFikr, 1984], juz V, h. 357; al-Khathib al-Syarbaini. Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376); atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, balk bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam” (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Buku III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)); sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang (waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah tidak sah;
2. bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan ) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain;
3. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaijakan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya “(QS. Ali Imron [3]:92).
2. Firman Allah SWT : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluar-kan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir.• seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati ” (QS. al-Baqarah [2].261-262).
3. Hadis Nabis s.a.w.: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r:a. bahwu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu kecuali dari sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya ” (H.R. Muslim, alTirmidzi, al-Nasa’ i, dan Abu Daud).
4. Hadis Nabi s.a.w.: ‘Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bin alKhaththab r. a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia herkata, “Wahai Rasulullah.’ Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta Yang lebih haik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya? ” Nabi s. a. w menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya. ” Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan men ysaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fugara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan diri (hasil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. ” Rawi berkata, “Sava menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia herkata ‘ghaira muta’tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hakmilik) ‘. “(H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al Nasa’i).
5. Hadis Nabi s.a.w.: Diriwayatkan dari Ibnu Umar r. a.; ia berkata, Umar r a. berkata kepada Nabi s. a. w., “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibst, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya. ” Nabi s.a.w berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i).
6. Jabirr.a. berkata : “Tak ada seorang sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf/. ” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wu Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, hi. 157; al-Khathib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj. [Beirut: Dar al-Fikr, t.th', jus II, h. 376).
Memperhatikan :
1. Pendapat Imam al-Zuhri (w. 124H.) bahwa mewakafkan dinas hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf 'alaih (Abu Su'ud Muhammad. Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997], h. 20-2 1).
2. Mutaqaddimin dari ulaman mazhab Hanafi (lihat Wahbah al-Zuhaili, al Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162) membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-’Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i: “Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” (alMawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al-Fikr,1994[, juz IX,m h. 379).
4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002,. antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurna-an (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran mengingat [adillah] nomor 4 dan 3 di atas :
5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai berikut: yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,”
6. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, (terakhir) nomor Dt.1.IIU5/BA.03.2/2772/2002, tanggal 26 April 2002.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG WAKAF UANG
Pertama :
1. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Wagf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakafuang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’ ia
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Kedua :
Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan :
Jakarta, 28 Shafar 1423 H
11 Mei 2002 M
C. Aplikasi atau Produk Wakaf
Salah satu bentuk filantropi yang telah membudaya pada masyarakat Islam adalah wakaf. Praktik wakaf pada zaman dahulu identik dengan fisik bangunan atau sebidang tanah, dan umumnya diberikan oleh seseorang yang memiliki kelebihan harta.
Seiring dengan perkembangan zaman dan fiqih kontemporer, munculah fatwa ulama tentang bolehnya wakaf dalam bentuk uang tunai. Dengan adanya fatwa ini, praktik wakaf tidak lagi menjadi dominasi orang kaya saja, namun semua orang muslim yang ingin ikut berkontribusi dalam wakaf dapat melakukannya dalam bentuk uang tunai atau yang setara dengan itu, dan tidak harus dalam bentuk asset tetap yang bernilai besar.
Di Indonesia, Gerakan Nasional Wakaf Uang yang dicanangkan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia pada 8 Januari 2010 lalu. Legalitas mengenai wakaf sendiri baru ada sejak 2004, yaitu dengan dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 2004. Kemudian, dibentuklah Badan Wakaf Indonesia melalui UU tersebut dan menyusul dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006.
Untuk mengoptimalkan mobilisasi wakaf uang dari masyarakat, pemerintah Indonesia melalui BWI menggandeng perbankan syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) berdasarkan ketentuan yang ada dalam UU wakaf 2004.
Bank syariah dalam hal ini memang secara langsung tidak mengelola wakaf, tapi ia bermitra dengan nazhir (BWI) dalam pengelolaan aset wakaf uang. Salah satu caranya yaitu dengan menginvestasikan wakaf uang tersebut dalam produk-produk perbankan syariah.
Di Indonesia, ada beberapa bank syariah yang telah bekerja sama dengan BWI menjadi LKS-PWU, salah satunya adalah Bank Syariah Bukopin. Keberadaan bank syariah sebagai LKS-PWU ini merupakan bentuk fungsi sosial-ekonomi bank syariah sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Pada dasarnya, wakaf uang yang diberikan lewat bank syariah terbagi menjadi dua macam, yaitu wakaf abadi dan wakaf berjangka. Wakaf abadi yaitu harta berupa uang tunai yang diwakafkan untuk dimanfaatkan selamanya. Wakaf berjangka ialah harta benda yang diwakafkan berupa uang tunai untuk dimanfaatkan dengan jangka waktu minimal lima tahun. Wakif (orang yang berwakaf) akan memperoleh Sertifikat Wakaf Uang jika berwakaf mulai Rp1 juta.
Pihak bank syariah, dalam hal ini hanya berfungsi sebagai penerima wakaf uang. Dengan kata lain, pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh nazhir, yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. BWI-lah yang berfungsi sebagai nazhir.
Dana yang diwakafkan, sedikitpun tidak akan berkurang jumlahnya. Justru sebaliknya, dana itu akan berkembang melalui investasi yang dijamin aman dengan pengelolaan secara amanah, profesional, dan transparan.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya wakaf uang ini. Wakaf uang yang dimobilisasi melalui bank syariah nantinya dapat dikelola untuk kemaslahatan umat, seperti untuk program pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan bentuk-bentuk kemaslahatan sosial lainnya. Hadirnya bank syariah sebagai LKS-PWU tentunya akan memberikan kemudahan bagi pewakaf (wakif) dalam menyalurkan dana wakafnya, guna mendorong pengembangan wakaf uang di Indonesia.
D. Kesimpulan
Sebagaimana Dasar hukum wakaf yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti termaktub dalam surat Ali Imran ayat 92 yang mengemukakan kalimat “harta yang kamu cintai”. Kalimat harta yang kamu cintai dalam ayat ini bermakna umum, tidak terbatas kepada harta tidak bergerak saja (seperti tanah dan bangunan), akan tetapi juga menyangkut harta bergerak seperti kendaraan dan termasuk uang. Demikian pula dalam surat Al-Baqarah ayat 262, ditemukan bunyi ayat yang artinya “orang yang menafkahkan hartanya”, kata “hartanya” dalam ayat ini sama seperti yang terdapat dalam surat Ali Imran di atas, yaitu bermakna luas, termasuk juga harta dalam bentuk “uang”.
Sedangkan hadis yang secara khusus dijadikan sebagai dasar hukum wakaf uang, sama seperti hadis dasar hukum wakaf pada umumnya, hanya saja kata-kata yang bermakna wakaf dalam hadis tersebut juga bermakna wakaf dalam bentuk uang.
Kenapa kata “harta” diartikan sebagai uang? Sebab kata “harta” (dalam istilah bahasa Arab disebut dengan al-mal) bermakna segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk benda maupun manfaatnya. Untuk hal ini ulama mazhab Hanafi mendefinisikan harta dengan “segala sesuatu kesayangan manusia dan dapat dihadirkan pada masa perlu” atau “segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan”. Sedangkan jumhur ulama berpendat bahwa harta ialah “segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak dan menghilangkannya (Abdul Azis Dahlan, dkk, 1996). Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa uang termasuk dalam pengertian harta. Oleh karena itu uang boleh diinfakkan, disedekahkan ataupun diwakafkan seperti halnya tanah dan bangunan.
Menyangkut keabsahan produk “Wakaf Uang” yang dilakukan oleh Bank Syariah Bukopin (BSB). sebenarnya sama saja dengan wakaf pada umumnya, yaitu bersumber kepada Al-Qur’an, Al-Hadis serta ijtihad atau pendapat ulama. Pendapat ulama mengenai wakaf uang ini dapat dikemukakan pendapat Imam Al-Zuhri, Ulama Mazhab Hanafi, sebagian ulama Mazhab Syafi’i, Ibnu Abidin, Abdullah Al-Anshari, Majlis Agama Islam Malaysia dan Majelis Ulama Indonesia seperti berikut.
Imam Al-Zuhri, seperti dikemukakan oleh Abu Su’ud Muhammad (1997: 20-21) bahwa Imam Al-Zuhri berpendapat mewakafkan dinar (untuk indonesia uang rupiah) hukumnya boleh, yaitu dengan cara menginvestasikan uang wakaf tersebut, kemudian keuntungan yang diperoleh dari investasi didistribusikan kepada mauquf alaih (penerima manfaat wakaf).
Sedangkan mutaqaddimin ulama Mazhab Hanafi, seperti diutarakan Wahbah al-Zuhaili (1985: 162) bahawa wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian atas dasar ihtihsan bil al-Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”. Oleh karena wakaf uang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka wakaf uang pun baik dalam pandangan Allah swt.
Adapun sebagian ulama Mazhab Asy-Syafi’i berpendapat wakaf uang adalah boleh. Di antara ulama yang berpendapat bahwa wakaf dinar dan dirham (uang) itu boleh adalah Abu Tsyar (Al-Mawardi, 1994: 379).
Ibn Abidin pula mengemukakan bahwa mewakafkan uang ataupun duit adalah sah meskipun fisiknya tidak dapat dikekalkan dalam bentuk yang asal, akan tetapi pengekalan itu dapat dilakukan dalam bentuk yang lain, beliau berpendapat bahwa kesahan wakaf terhenti pada urf masyarakat setempat (Ibn Abidin, 1966: 364).
Sedangkan Abdullah al-Ansari, seperti dilaporkan Ibn al-Humam (1316 H: 51) mengemukakan bahwa pernah dilaporkan anak lelaki Abdullah al-Ansari bernama Muhammad, beliau berpandangan bahwa uang boleh diwakafkan dengan cara menginvestasikan uang wakaf tersebut. Hasil yang diperoleh dari investasi yang dilakukan disedekahkan. Bahkan pandangangan ini berpendapat bahwa barang-barang makanan yang dapat disukat atau ditimbang sah untuk diwakafkan, kemudian harta tersebut (yang dapat disukat dan ditimbang) dijual, dan uang hasil penjualannya diinvestasikan dan kemudian hasil invetasinya diwakafkan kepada tujuan-tujuan kebajikan.
Manakala Majlis Ulama Indonesia telah pula menetapkan fatwa tentang wakaf uang seperti berikut :
1. Wakaf wang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang, kelompok orang, lembaga atau syarikat perbadanan dalam bentuk uang tunai
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga
3. Wakaf uang hukumnya jawas (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i, dan
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannnya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dari isi fatwa tersebut dapat disimpulkan bahwa Majlis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf dalam bentuk uang.
Bahkan di Indonesia kebolehan wakaf uang ini juga telah dilegalkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Hal ini dapat diketahui dari objek wakaf yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Pasal 16 ayat (3) menegaskan bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak, sedangkan benda bergerak meliputi uang, logam mulia dan surat berharga, kenderaan, hak atas kekayaan inteektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa wakaf dalam bentuk uang memiliki dasar hukum, yaitu mulai dari Al-Qur’an, Al-Hadis, pendapat ulama-ulama dan bahkan Undang-Undang. Dengan dasar hukum wakaf uang yang sedemikian rupa mudah-mudahan dapat memberi dorongan kepada kaum muslimin untuk mengamalkan ibadah wakaf, karena dengan wakaf uang akan lebih mudah untuk mengamalkannya, dan tanpa harus menunggu kaya terlebih dahulu. Mudah-mudahan dengan wakaf uang, ibadah wakaf akan dapat dijadikan sebagai trend hidup umat Islam.
Dengan dijadikannya wakaf uang sebagai trend hidup, insya Allah umat Islam akan memperoleh amalan yang tidak terputus pahalanya, walaupun sudah meninggal dunia kelak. Sebab ibadah wakaf (termasuk wakaf uang) merupakan amalan yang digolongkan kepada “shodaqotun jariah” yang akan terus mengalir pahalanya walaupun yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
Amin yaa Allah yaa robbal ‘alamin !!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar