My Campus
Faiz AL-Husaini
Rabu, 25 April 2012
EKONOMI SYARIAH
A. Pendahuluan
Dalam perkembangan kontemporer ini, dunia Islam sedang melewati salah satu fase sejarah dunia yaitu masa krisis global. Di tengah krisis global dengan sistem kontemporer yang bebas nilai dan hampa nilai, dominasi pusaran faham kapitalis dan sosialis, kita menemukan Islam sebagai suatu sistem yang mampu memberikan daya tawar positif, dengan menghadirkan nilai-nilai etika dan moral yang lengkap serta mengajarkan semua dimensi kehidupan.[1]
Keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang salah satunya mewarnai tingkah laku ekonomi masyarakat. Dalam Islam diajarkan nilai-nilai dasar ekonomi yang bersumber pada ajaran tauhid. Islam lebih dari sekedar nilai-nilai dasar etika ekonomi, seperti: keseimbangan, kesatuan, tanggung jawab dan keadilan, tetapi juga memuat keseluruhan nilai-nilai yang fundamental serta norma-norma yang substansial agar dapat diterapkan dalam operasional lembaga ekonomi Islam di masyarakat.
Umer Chapra menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi Islam dibangun berdasarkan nilai-nilai etika dan moral serta mengacu pada tujuan syari’at (maqashid al-syari’ah) yaitu memelihara iman (faith), hidup (life), nalar (intellect), keturunan (posterity) dan kekayaan (wealth). Konsep ini menjelaskan bahwa siostem ekonomi hendaknya dibangun berawal dari suatu keyakinan (iman) dan berakhir dengan kekayaan (property). Pada gilirannya tidak akan muncul kesenjangan ekonomi atau pedrilaku ekonomi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at.
Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia boleh dikatakan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan banyak berdirinya lembaga keuangan yang secara konsep maupun operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip syari’ah.
Beberapa kalangan membuat penilaian bahwa dari segi keberadaan dan peranan lembaga Keuangan syari’ah dirasakan belum maksimal, sedangkan mengukur dari segi sosialisasi sistem ekonomi syari’ah kepada masyarakat relatif masih terbatas. Padahal sosialisasi ekonomi syari’ah kepada masyarakat merupakan aspek penunjang dalam strategi pemberdayaan ekonomi syari’ah di Indonesia.[2]
Wawasan dan pengetahuan tentang ekonomi syari’ah umumnya hanya di kalangan akademisi dan praktisi lembaga keuangan syari’ah, sedangkan masyarakat bawah belum tentu mengenal dan memahaminya secara jelas. Padahal ekonomi syari’ah merupakan sistem ekonomi yang lebih memberikan daya tawar positif, bukan hanya dari aspek hukum (syari’at), tetapi juga bisa menjadi sistem ekonomi alternatif yang dapat mendukung proses pembangunan ekonomi di Indonesia.
Basis utama sistem ekonomi syari’ah sesungguhnya terletak pada aspek kerangka dasarnya yang berlandaskan syari’at, tetapi juga pada aspwek tujuannya yaitu mewujudkan suatu tatanan ekonomi masyarakat yang sejahtera berdasarkan keadilan, pemerataan dan keseimbangan. Atas dasar itu, maka pemberdayakan ekonomi syari’ah di Indonesia hendaknya dilakukan dengan strategi yang ditujukan bagi perbaikan kehidupan dan ekonomi masyarakat. Tuntutan masyarakat dewasa ini terutama di lapisan masyarakat bawah adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka yang paling mendasar.
Sistem ekonomi Islam memiliki pijakan yang sangat tegas bila dibandingkan dengan sistem ekonomi liberal dan sosialis yang saat ini mendomiinasi sistem perekonomian dunia. Sistem ekonomi liberal lebih menghendaki suatu bentuk kebebasan yang tidak terbatas bagi individu dalam memperoleh keuntungan (keadilan distributif), dan sosialisme menekankan aspek pemerataan ekonomi (keadilan yang merata), menenentang perbedaan kelas sosial dan menganut azas kolektivitas.
Adapun sistem ekonomi syari’ah mengutamakan aspek hukum dan etika yakni adanya keharusan menerapkan prinsip-prinsip hukum dan etika bisnis yang Islami, antara lain: Prinsip ibadah (al-tauhid), persamaan (al-musawat), kebebasan (al-hurriyat), keadilan (al-‘adl), tolong-menolong (al-ta’awun) dan toleransi (al-tasamuh). Prinsip-prinsip tersebut merupakan pijakan dasar dalam sistem ekonomi syari’ah, sedangkan etika bisnis mengatur aspek hukum kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusian harta, yakni menolak monopoli, eksploitasi dan diskriminasi serta menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Prinsip-prinsip dan etika bisnis itulah yang kini menjadi landasan operasional lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Dalam kerangka praktis prinsip-prinsip dan etika bisnis tersebut diimplementasikan dalam berbagai produk jasa dan layanan lembaga keuangan syari’ah yang menggunakan mekanisme bagi hasil (profit sharing).
Oleh karena itu, masyarakat akan memperoleh berbagai keuntungan dari jasa dan layanan lembaga keuangan syari’ah, antara lain: Pertama, adanya jaminan keuntungan hasil investasi yang jelas, terukur dan rasional; Kedua, adanya jaminan aspek hukum dan keamanan investasi; Ketiga, transaksi dapat dilakukan dalam rentang waktu jangka pendek dan jangka panjang; Keempat, terhindar dari praktek-praktek bisnis yang monopolistik, eksploitatif dan diskriminatif; dan Kelima, adanya jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang melakukan transaksi.
Keadaan demikian, memungkinkan bagi lembaga keuangan syari’ah terhindar dari praktek bunga yang jelas mengandung suatu kesamaran (gharar) dan melipatgandaan keuntungan (riba). Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk meragukan lembaga kuangan syari’ah baik dari segi hukum, etika, kejelasan untung dan rugi serta ketahanan institusi dari keadaan pailit.
Kelebihan utama praktek bagi hasil tidak didasarkan kepada ketentuan yang kaku, tetapi bersifat kondisional dalam membagi keuntungan antara pihak yang melakukan transaksi. Kedua belah pihak dapat saling berbagi keuntungan dan kerugian berdasarkan pertimbangan kelayakan dan rasionalitas.[3]
Atas dasar itu, maka tidak tepat pula jika mengatakan ekonomi syari’ah tidak memberikan solusi bagi perbaikan ekonomi masyarakat di Indonesia. Karena dalam faktanya keberadaan lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang baru berkembang sejak tahun 1992 cukup kokoh bertahan. Tingkat ketahanan lembaga keuangan syari’ah dari terpaan badai krisis ekonomi dan moneter jauh lebih kuat diabndingkan lembaga keuangan konvensional. Sebab prinsip utama yang digunakan tidak bergantung kepada patokan suku bunga yang cenderung berubah, tetapi didasarkan kepada fluktuasi keuntungan hasil usaha yang diperoleh.
B. Dasar-dasar etika ekonomi Islam
Fenomena menarik di kalangan umat Islam saat ini adalah terdapat realitas bahwa masyarakat muslim relatif tertinggal secara ekonomi dari pada masyarakat non muslim. Sehingga melahirkan stigma berfikir yang kolektif dan cita-cita untuk membangun tatanan ekonomi yang berdasarkan etika ekonomi Islam.
Perumusan etika ekonomi Islam dalam setiap kegiatan bisnis diperlukan untuk memandu segala tingkah laku ekonomi di kalangan masyarakt muslim. Etika bisnis Islami tersebut selanjunya dijadikan sebagai kerangka praktis yang secara fungsional akan membentuk suatu kesadaran ber-agama dalam melakukan setiap kegiatan ekonomi (religiousness economyc practical guidance).
Etika ekonomi Islam, sebagaimana dirumuskan oleh para ahli ekonomi Islam adalah suatu ilmu yang mempelajari aspek-aspek kemaslahatan dan kemafsadatan dalam kegiatan ekonomi dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauhmana dapat diketahui menurut akal fikiran (rasio) dan bimbingan wahyu (nash). Etika ekonomi dipandang sama dengan akhlak, karena keduanya sama-sama membahas tentang kebaikan dan keburukan pada tingkah laku manusia.
Sedangkan tujuan etika Islam menurut kerangka berfikir filsafat adalah memperoleh suatu kesamaan ide bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku baik dan buruk sejauhmana dapat dicapai dan diketahui menurut akal fikiran manusia.[4]
Namun demikian, untuk mencapai tujuan tersebut, etika ekonomi Islam mengalami kesulitan karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini berbeda-beda perihal standar normatif baik dan buruk. Masing-masing mempunyai ukuran dan kriteria yang berbeda-beda pula. sebagai cabang dari filsafat, ajaran etika bertitik tolak dari akal fikiran dan tidak dari ajaran agama.
Adapun dalam Islam, ilmu akhlak dapat difahami sebagai pengetahuan yang mengajarkan tentang kebaikan dan keburukan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber kepada akal dan wahyu. Atas dasar itu, maka etika ekonomi yang dikehendaki dalam islam adalah perilaku sosial-ekonomi yang harus sesuai dengan ketentuan wahyu serta fitrah dan akal pikiran manusia yang lurus.
Di antara nilai-nilai etika ekonomi islam yang terang-kum dalam ajaran filsafat ekonomi Islam adalah terdapat dua prinsip pokok: Pertama, Tauhid. Prinsip tauhid ini mengajar-kan manusia tentang bagaimana mengakui keesaan Allah. Sehingga terdapat suatu konsekwensi bahwa keyakinan ter-hadap segala sesuatu hendaknya berawal dan berakhir hanya kepada Allah SWT.
Keyakinan yang demikian, dapat mengantar seorang muslim untuk menyatakan bahwa: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi Allah, Tuhan seru sekalian alam”. Prinsip ini kemudian menghasilkan kesatuan-kesatuan sinergis dan saling terkait dalam kerangka tauhid. Tauhid diumpmakan seperti ber-edarnya planet-planet dalam tata surya yang mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan dalam ajaran tauhid hendaknya berimplikasi kepada kesatuan manusia dengan tuhan dan kesatuan manusia dengan manusia serta kesatuan manusia dengan alam sekitarnya.
Kedua, prinsip keseimbangan mengajarkan manusia tentang bagaimana meyakini segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi. Hal ini dapat difahami dari al-Qur’an yang telah menjelaskan bahwa: “Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah meng-amati apakah engkau melihat sedikit ketimpangan”.[5] Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang, serasi dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntun manusia untuk mengimplementasikan ketiga aspek tersebut dalam kehidupan.
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggamannya adalah milik Alah SWT. keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri tetapi terdapat partsisipasi orang lain. Tauhid yang akan menghasilkan keyakinan pada manusia bagi kesatuan dunia dan akhirat. Tauhid dapat pula mengantarkan seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan materi semata-mata, tetapi juga mendapat keberkahan dan keuntungan yang lebih kekal.
Oleh karena itu, seorang pengusaha dipandu untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam melarang segala praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan yang terselubung. Bahkan Islam melarang kegiatan bisnis hingga pada menawarkan barang pada disaat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.
Demikian halnya dengan prinsip keseimbangan akan mengarahkan umat Islam kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi hanya pada satu tangan atau satu kelompok tertentu saja. Atas dasar ini pula, al-Qur’an menolak dengan sangat tegas daur sempit yang menjadikan kekayataan hanya berkisar pada orang atau kelompok tertentu :“Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja dia antra kamu”.[6]
Umat Islam dilarang tegas melakukan penimbunan dan pemborosan.[7] Ayat ini menjadi dasar bagi pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak-hak miliki perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penye-lundupan dan yang mengambil keuntungan secar berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.[8]
Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menim-bulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbnagan yang diakibatkan kenaikan harga-harga. Dalam rangka memelihara keseimbangan ekonomi, Islam menegaskan pemerintah untuk mengontrol harga-harga yang tidak wajar dan cenderung spekulatif tersebut, yakni dengan berpegang kepada etika ekonomi Islami.
C . Etika Islami dalam Praktek Bisnis
Dari prinsip di atas, maka seorang pelaku bisnis atau wirausaha menurut pandangan Etika Islam ketika berdagang tidak hanya bertujuan mencari keutungan sebesar-besarnya, akan tetapi mencari dan mencapai keberkahan. Keberkahan usaha adalah kemantapan dari usaha itu dengan memper-oleh keuntungan yang wajar dan diridhai oleh Allah SWT.
Untuk memperoleh keberkahan dalam jual beli, Islam mengajarkan prinsip-prinsip etis sebagai berikut :
1. Jujur dalam takaran dan timbangan, Allah berfirman QS al-Muthafifin 1-2: “Celakalah bagi orang yang curang. Apabila mereka menimbang dari orang lain (untuk dirinya, dipenuhkan timbangannya). namun, apabila mereka menimbang (untuk orang lain) dikuranginya”.
2. menjual barang yang halal. Dalam salah satu hadits nabi menyatakan bahwa Allah mengharamkan sesuatu barang, maka haram pula harganya (diperjualbelikan).
3. Menjual barang yang baik mutunya. Dalam berbagai hadits Rasulullah melarang menjual buah-buahan hingga jelas baiknya.
4. Jangan menyembunyikan cacat barang. Salah satu sumber hilangnya keberkahan jual beli, jika seseorang menjual barang yang cacat yang disembunyikan cacatnya. Ibnu Umar menurut riwayat Bukhari, memberitakan bahwa seorang lelaki menceritakan kepada Nabi bahwa ia tertipu dalam jual beli. Sabda Nabi ; “ apabila engkau berjual beli, katakanlah : tidak ada tipuan”.
5. Jangan main sumpah. Ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan pembelinya dengan jalan main sumpah agar dagangannya laris. Dalam hal ini Rasul memperingatkan : “sumpah itu melariskan dagangan, tetapi menghapuskan keberkahan”. (HR Bukhari).
6. Longgar dan bermurah hati. Sabda Rasulallah: “Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli dan waktu menagih hutang”. (H.R. Bukhari). Kemudian dalam hadits lain Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah bersabda: “ada seorang pedagang yang mempiutangi orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang ditagih itu dalam dalam kesem-pitan, dia perintahkan kepada pembantu-pembantunya.” Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah memberikan kelapangan kepada kita”. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya “ (H.R. Bukhari).
7. Jangan menyaingi kawan. Rasulullah telah bersabda: “janganlah kamu menjual dengan menyaingi dagangan saudaranya”.
8. Mencatat hutang piutang. Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam hubungan ini al-Qur’an mengajarkan pencatatan hutang piutang. Gunanya adalah untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu waktu lupa atau khilap : “hai orang-orang yang beriman, kalau kalian berhutang-piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian tuliskan. Dan seorang penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana telah diajarkan oleh Allah kepadanya”.
9. Larangan riba sebagaimana Allah telah berfirman: “Allah menghapuskan riba dan menyempurnakan kebaikan shadaqah. Dan Allah tidak suka kepada orang yang tetap membangkang dalam bergelimang dosa”.
10. Anjuran berzakat, yakni menghitung dan mengeluarkan zakat barang dagangan setiap tahun sebanyak 2,5 % sebagai salah satu cara untuk membersihkan harta yang diperoleh dari hasil usaha.
Berkenaan dengan hal itu, Islam sebagai ajaran yang universal memberikan pedoman tentang kegiatan ekonomi berupa prinsip-prinsip dan asas-asas muamalah. Juhaya S. Praja menyebutkan terdapat beberapa prinsip hukum eko-nomi Islam[9], antara lain:
1. Prinsip la yakun dawlatan bayn al-agniya, yakni prinsip hokum ekonomi yang menghendaki pemerataan dalam pendistribusian harta kekayaan.
2. Prinsip antaradin, yakni pemindahan hak kepemilikan atas harta yang dilakukan secara sukarela.
3. Prinsip tabadul al-manafi’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan kepasa azas manfaat.
4. Prinsip takaful al-ijtima’, yakni pemindahan hak atas harta yang didasarkan kepada kepentingan solidaritas sosial.
5. Prinsip haq al-lah wa hal al-adami, yakni hak pengelolaan harta kekayaan yang didasarkan kepada kepentingan milik bersama, di mana individu maupun kelompok dapat saling berbagi keuntungan serta diatur dalam suatu mekanisme ketatanegaraan di bidang kebijakan ekonomi.
Di samping prinsip-prinsip tersebut, dalam sistem ekonomi Islam dijelaskan pula berbagai ketentuan yang terangkum dalam azas-azas muamalah. Ahmad Azhar Basyir telah menjelaskan tentang azas-azas muamalah dalam hukum ekonomi Islam[10], antara lain:
1. Asas kehormatan manusia (QS 17: 70).
2. Asas kekeluargaan dan kemanusiaan (QS 49: 13).
3. Asas gotong-royong dalam kebaikan (QS 5: 2).
4. Asas keadilan, kelayakan dan kebaikan (QS 16: 90).
5. Asas menarik manfaat dan menghindari madharat (QS 2: 282).
6. Asas kebebasan dan kehendak (QS 2: 30).
7. Asas kesukarelaan (QS 4: 39)
Berdasarkan prinsip-prinsip dan azas-azas ekonomi itulah, maka pelaksanaan hukum Islam dalam kegiatan eko-nomi diwujudkan dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Disadari atau tidak, kepentingan untuk mengem-bangkan lembaga keuangan dan perbankan syari’ah bukan lagi merupakan tuntutan di kalangan umat Islam, tetapi telah menjadi kebutuhan umum.
D. Pembangunan Ekonomi Berwawasan Syari’ah
Perkembangan lembaga keuangan dan perbankan syari’ah di Indonesia sesungguhnya dapat dikatakan tertinggal jauh oleh negara mayoritas muslim lainnya. Ide dasar bagi sosialisasi pengembangan lembaga keuangan syari’ah sesungguhnya telah lama tumbuh dalam kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia.
Tercatat menjelang akhir tahun 1980-an upaya untuk mengembangkan lembaga ekonomi dan keuangan syari’ah semakin mendorong kalangan masyarakat Islam, mulai dari akademisi, praktisi, pakar ekonomi dan kalangan birokrasi pemerintah untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan dan perbankan syari’ah. Hal ini dilakukan untuk merespon tuntutan dan kebutuhan di kalanganmasyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Dasar hukum pertama kali tentang Bank di Indonesia adalah UU No.14/1967, namun peraturan tersebut lebih bersifat konvensional, di mana operasional Bank diharuskan menerapkan sistem bunga yang bagi umat Islam dianggap riba/haram. Baru kemudian setelah dikeluarkannya UU No.7/1992 tentang Perbankan, istilah bagi hasil (profit sharing) mulai dikenal terdapat pada :
a. Pasal 1 ayat 12 yang berbunyi : “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan tujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
b. Pasal 6, usaha Bank Umum meliputi a s.d 1 dan ber-bunyi: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasar-kan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.”
c. Pasal 13, usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi a s.d c yang berbunyi: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.”[11]
Sekurang-kurangnya terdapat tiga Peraturan Peme-rintah sebagai turunan dari UU No.7/1992 antara lain: PP No.70/1992 tentang Bank Umum, PP No.71/1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat dan PP No.71/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Disebutkan pula dalam pasal 5 ayat (3) PP No.70/1992 bahwa : “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas mencan-tumkan kegiatan usaha Bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.”
Kemudian dalam pasal 6 ayat (2) PP No.71/1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat disebutkan bahwa: “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil harus secara tegas mencan-tumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya.” Ketentuan ini memberi kesempatan kepada lembaga keuangan syari’ah untuk menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip bagihasil.
Adapun PP No.72/1992 lebih banyak mengatur ketentuan-ketentuan yang lebih bersifat teknis bagi penye-lenggaraan operasional Bank Syari’ah, , yang mencakup atas[12]:
a. Untuk pelayanan dan jasa perbankan syari’ah, maka kegiatan usaha bank syari’ah diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
b. Prinsip bagi hasil dijadikan alternatif bagi masyarakat yang tidak menggunakan jasa bank dengan sistem bunga.
c. Prinsip bagi hasil diterapkan dalam semua jenis produk jasa dan layanan bank syari’ah.
d. Secara kelembagaan Bank Syari’ah menerapkan mana-gemen syari’ah dengan sistem perbanhkan modern.
e. Memaksimalkan Dewan Pengawas Syari’ah yang memi-liki tugas pengawasan dalam operasional Bank syari’ah.
Dalam perkembangan selanjutnya, untuk jalannya PP No.72/1992 dan UU No.10/1998, maka Direksi Bank Indonesia mengeluarkan beberapa ketentuan teknis bagi operasional Bank Umum dan Bank Syari’ah pada tanggal12 Mei 1999 yang tertuang dalam Surat Keputusan Direksi BI No.32/34/KEP/DIR[13]. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa lembaga keuangan syari’ah dan lembaga keuangan konven-sional dapat bersama-sama menyelenggarakan pelayanan jasa keuangan kepada masyarakat berdasarkan prinsip syari’ah.
Berdasar kepada uraian tersebut, tampaknya jelas adanya peluang yang begitu lebar diberikan oleh pemerintah dalam bidang ekonomi dan perbankan syari’ah. Transformasi prinsip-prinsip dan asas-asas muamalah ke dalam sistem ekonomi nasional bukan sekadar kontribusi hukum Islam ke dalam hukum nasional, tetapi implikasinya dapat mendorong dan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal demikian membuktikan, dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 dan Bank-Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah serta Baitul Mal wa Tamwil (BMT) di seluruh Indonesia adalah kemajuan islamisasi di bidang ekonomi dan perbankan. Ini dapat dilihat sebagai salah satu upaya melakukan pembangunan ekonomi yang berwawasan syari’ah.
Bahkan ketika terpaan krisis ekonomi di penghujung tahun 1997 sampai sekarang, kondisi dan stabilitas finansial Bank Syari’ah relatif aman dan stabil, karena menerapkan prinsip bagi hasil. Sedangkan didapatkan beberapa bank umum yang menerapkan sistem bunga terkena dampak negatif krisis moneter berupa terjadinya likuidasi atau dibekukan izin operasional lembaga bank konvensional.
Merujuk kepada UU No. 10/1998, beberapa bank umum mulai menjalankan operasional dengan dua sistem, yakni sistem bunga dan sistem bagi hasil (dual banking system) seperti, Bank Syari’ah Mandiri, Bank Syari’ah BNI, dan Bank Syari’ah Jabar. Ini jelas merupakan kemajuan tersendiri bagi perkembangan ekonomi Islam di Indonesia.
Pada akhirnya, dapat diambil pokok pikiran umum dari penjelasan di atas bahwa kepentingan untuk mengembangkan lembaga keuangan syari’ah merupakan salah satu upaya membangun ekonomi syari’ah dan mengimplementasikan etika ekonomi Islami. Tinggal bagaimana umat Islam dapat menjabarkannya dalam kehidupan.
Berkenaan dengan hal tersebut, peranan lembaga pendidikan tinggi seperti Islamic Banking School (IBS) dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam memberikan sumbangan berupa konsep-konsep pengembangan ekonomi syari’ah yang berpijak pada kondisi objektif perekonomian umat Islam di Indonesia ke depan. Sebab perguruan tinggi memiliki kompetensi untuk melakukan berbagai jenis penelitian, pengkajian dan studi ilmiah tentang ekonomi, baik secara teoritis maupun praktis.
E. Penutup
Demikianlah penjelasan singkat tentang ekonomi syari’ah yang mendasarkan sistem ekonominya kepada tujuan syari’ah (maqashid syari’ah) dan prinsip-prinsip etika yang diajarkan Islam untuk diterapkan dalam praktek bisnis dan kewirausahaan yang memiliki dimensi Keberkahan yaitu memperoleh keuntungan baik di dunia maupun di akhirat.
Etika merupakan suatu pedoman moral bagi semua tindakan manusia dan menjadi sumber pemikiran baik buruk tindakan itu. Agama merupakan kepercayaan akan sesuatu kekuatan supranatural yang mengatur dan mengendalikan kehidupan manusia. Etika Islam mengatur segala aspek termasuk ekonomi bahwa mesti ada kesepadanan untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan.
Praktik ekonomi, bisnis, wirausaha dan lainnya yang bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, diperintahkan dan dipandu baik oleh aturan-aturan ekonomi yang bersifat rasional maupun dituntun oleh nilai-nilai agama. Wallahu ‘a’lam bi al-sawab.
[1] Ekonomi islam mengajarkan prinsip-prinsip ekonomi yang memiliki muatan ajaran agama, etika dan moralitas. Sedangkan ekonomi konvensional dibangun oleh peradaban Barat berdasarkan nilai-nilai kebebasan dan sekularisme (value free). M. Dawam Rahardjo, “Ekonomi Islam : Apakah itu?”, Makalah (Jakarta, 21 Maret 2001, h. 3.
[2] Juhaya S. Praja, “Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Melalui Unit Simpan Pinjam Syari’ah (USPS) dan Baitul Mal wa Tamwil (BMT)”, dalam Ahmad Hasan Ridwan (Editor), BMT & Bank Islam (Bandung: Adzkia, 2004), h. 25.
[3] Ibid., h. 28.
[4] Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perpspektif Islam (Jakarta: Risalah Gusti, 1996) hal. 52.
[5] QS 67:3.
[6] QS 59:7.
[7] QS Al-Taubah: 34.
[8] QS 7:31.
[9] Juhaya S. Praja, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Madya Filsafat Hukum Islam tentang Rekosntruksi Paradigma Ilmu: Titik Tolak Pengembangan Ilmu Agama dan Universalitas Hukum Islam pada tanggal 1 April 2000 di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.
[10] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1994), h. 190-191.
[11] Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 45.
[12] Ibid., h. 46-47.
[13] Ibid., h. 49-50. Direvisinya UU No.7/1989 merupakan implikasi dari perubahan cara pandang masyarakat Islam Indonesia terhadap masalah pembangunan ekonomi. Berdirinya lembaga-lembaga keuangan syar’ah mendorong pihak pemerintah untuk ambil bagian dalam pengembangan lembaga keuangan syari’ah. Dan kebijakan ini berlaku menguntungkan bagi lembaga-lembaga keuangan publik lainnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar