A. Konsep Jual Beli Al- Sharf
1. Pengertian Jual Beli Al- Sharf
Al-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl (seimbang), penghindaran, pemalingan penukaran, atau transaksi jual beli. Kadang-kadang Al-Sharf dipahami berasal dari kata Sharafa yang artinya membayar dengan penambahan.
Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Atau sharf (money changing) adalah menjual nilai sesuatu dengan nilai sesuatu yang lain, meliputi emas dengan emas,, perak dengan perak, dan emas dengan perak. Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas). Adapun menurut istilah adalah sebagai berikut:
a. Menurut istilah fiqh, Al-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai.
Seperti memperjualbelikan emas dengan emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek jual beli antar valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis.
b. Menurut Heri Sudarsono, Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis, misalnya rupiah dengan rupiah maupun yang tidak sejenis, misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya.
c. Menurut Tim Pengembangan Institut Bankir Indonesia, Sharf adalah jasa yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing menurut prinsip-prinsip Sharf yang dibenarkan secara syari'ah.
d. Adapun menurut ulama fiqh Sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis.
Dalam literatur klasik, pembahasan ini ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, atau dinar dengan dirham. Satu dinar menurut Syauqi Ismail Syahatah (ahli fiqh dari Mesir), bernilai 4,51 gram emas. Menurut jumhur ulama 1 dinar adalah 12 dirham dan menurut ulama Madzhab Hanafi, 10 dirham. Perbedaan harga dinar tersebut terjadi karena fluktuasi mata uang pada zaman mereka masing-masing.
2. Syarat-Syarat Al-Sharf
Menurut ulama fiqh, persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
a. Nilai tukar yang diperjualbelikan harus telah dikuasai, baik oleh pembeli maupun oleh penjual, sebelum keduanya berpisah badan. Penguasaan tersebut dapat berbentuk penguasaan secara material, misalnya pembeli langsung menerima dolar Amerika Serikat yang dibeli dan penjual langsung menerima uang rupiah. Adapun penguasaan secara hukum, misalnya pembayaran dengan menggunakan cek. Menurut para ahli fiqh, syarat ini untuk menghindarkan terjadinya riba nasi'ah. Jika keduanya atau salah satunya tidak menyerahkan barang sampai keduanya berpisah maka akad al-Sharf menjadi batal.
b. Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis yang sama, maka jual beli mata uang itu harus dilakukan dalam mata uang sejenis yang kualitas dan kuantitasnya sama, sekalipun model dari mata uang itu berbeda. Misalnya, antara mata uang rupiah lembaran Rp50.000,- ditukar dengan uang Rp5000,-. Atau uang kertas ditukar dengan uang logam.
c. Dalam sharf, tidak boleh dipersyaratkan dalam akadnya adanya hak khiyar syarat bagi pembeli. Alasannya adalah selain untuk menghindari riba, juga karena hak khiyar membuat hukum akad jual beli menjadi belum tuntas. Sedangkan salah satu syarat jual beli sharf adalah penguasaan valuta yang dipertukarkan sesuai dengan nilai tukar keduanya oleh masing-masing pihak.
d. Dalam akad sharf tidak boleh ada tenggang waktu antara penyerahan mata uang yang saling dipertukarkan, karena bagi sahnya sharf penguasaan objek akad harus dilakukan secara tunai dan perbuatan saling menyerahkan itu harus telah berlangsung sebelum kedua belah pihak yang melakukan jual beli valuta itu berpisah badan.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zahra (ahli fiqh) dua syarat terakhir terkait erat dengan syarat pertama. Oleh sebab itu ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh syarat penguasaan objek akad secara tunai tersebut.
Pertama, ibra (pengguran hak) atau hibah. Apabila seseorang menjual doalrnya dengan rupiah, kemudian setelah pembeli menerima dolarnya, penjual menyatakan ibra atau menghibahkan haknya (rupiah dari pembeli), maka dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, yaitu apabila pembeli menerima ibra, maka gugurlah kewajibannya untuk menyerahkan rupiah tersebut dan akad sharf menjadi batal. Kemudian apabila pembeli tidak mau menerima ibra, maka ibra atau hibahnya tidak sah akan tetapi akad sharf tetap berlaku.
Kedua, apabila salah satu pihak memberikan sesuatu yang melebihi kewajibannya dalam pertukaran objek sharf, menurut ulama fiqh itu tidak boleh, karena merupakan riba.
Ketiga, apabila terjadi pengalihan hutang kepada orang lain (hiwalah), misalnya salah satu pihak menunjuk orang lain untuk menerima atau menguasai objek sharf secara langsung di majelis akad, menurut ulama fiqh hukumnya boleh karena penguasaan objek akad sharf tersebut memenuhi syarat secara sempurna.
Keempat, terjadi saling pengguguran hak atau utang (Al-muqasah).
B. DASAR HUKUM JUAL BELI SHARF
1. Menurut Al-quran
Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri, melainkan hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu:
• •
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
2. Menurut Al-Hadis
Setelah beberapa jenis mata uang telah dibuat, maka mata uang kertas wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang mana emas dan perak inilah yang dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan demikian mata uang kertas menjadi satu-satunya satuan hitung dan sarana perantara dalam tukar-menukar. Mata uang kertas menjadi nilai harga sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar mata uang kertas tunduk kepada peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan perak.
Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf didasarkan pada sejumlah hadis nabi yang antara lain pendapat jumhur ulama yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’ dari Abu Said berkata Rasulallah SAW bersabda:
الذَهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ وَالمِلْحُ بِالمِلحِ مَثَلاً بِمَثَلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَن زَادَ وَاستَزَادَ فَقَد اَربَى الاَخِدُ وَالمُعطِى سَوَاءٌ (رواه احمد و البخارى)
“emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan garam sama-sama dari tangan ke tangan, siapa yang menambahkan atau minta ditambahkan sungguh ia telah berbuat riba, pengambil dan pemberi sama.” (HR Ahmad dan Bukhari)
Dalam hadis lain:
عَن ابِي سَعِيدالخُدرِي قَالَ رَسُولُ الله صَلىّ الله عَلَيهِ وَسَلّم الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ وَالشَّعِيرُ باِلشّعِيرِ وَالتّمرُ بِالتّمرِ وَالمِلحُ بِالمِلحِ مَثَلًا بِمِثلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَن زَادَ اوَاستَزَادَ فَقَد اَربَى الاَخِدَ وَالمُعطِى فِيهِ سَوَاءٌ (رواه مسلم)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri Rasulallah SAW bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima atau pemberi sama-sama bersalah.” (HR Muslim)
Dalam hadis lain:
لَاتَبِيعُواالذّهَبَ بِالذّهَبِ اِلّا مَثَلًا بِمَثَلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعضَهَا عَلَى بَعضٍ وَلَا تَبِيعُواالوَرَقَ اِلّا مَثَلاً بِمَثَلٍ وَلَا تُشِفّوا بَعضَهَا عَلَى بَعضٍ وَلَا تَبِيعَواغَائِبًا مِنهَا بِنَا جِزٍ (رواه البخارى ومسلم عن ابى سعيد)
“janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama-sama bilangannya dan janganlah kamu lebihkan sebagian atas sebagian lainnya, janganlah kamu menjual uang kertas dengan uang kertas kecuali sama-sama bilangannya dan janganlah kamu lebihkan sebagian dengan sebagian lainnya dan janganlah kamu menjual barang yang tidak ada di tempat dengan yang sudah ada di tempat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Said)
Dari beberapa hadis di atas dapat dipahami bahwa hadis pertama dan ketiga merupakan dalil diperbolehkannya sharf dan tidak boleh ada penambahan pada suatu barang yang sejenis. Sedangkan dalam hadis kedua selain diperbolehkannya praktek sharf, juga mengisyaratkan bahwa jual beli tersebut harus dilakukan secara tunai.
3. Menurut Ijma
Ulama sepakat bahwa akad Sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:
a. Pertukaran tersebut harus dilaksanakan secara tunai (spot) artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
b. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersial, yaitu transaksi perdagangan barang dan jasa antar bangsa.
c. Harus dihindari jual beli bersyarat, misalnya A setuju membeli barang dari B haru ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu dimasa yang akan datang.
d. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
e. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau jual beli tanpa hak kepemilikan.
4. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Fatwa DSN 28/DSN-MUI/III/2002: Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
Pertama: Ketentuan Umum
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Kedua: Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing
1. Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِمَّما لاَ ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.
2. Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
3. Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4. Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
Ketiga: Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di: Jakarta, Tanggal: 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M
C. APLIKASI JUAL BELI SHARF DI PERBANKAN SYARIAH
Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dengan pertukaran antara emas dan perak. Dalam aplikasinya diperbankan syariah, sharf merupakan pelayanan jasa bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing menurut prinsip yang dibenarkan syariah. Kebutuhan transaksi valas semakin menguat karena volume transaksi pembayaran internasional kian meningkat. Di bank syariah, transaksi valas pun harus memenuhi prinsip pertukaran secara spot, berlangsung dengan tunai dan tidak mengandung unsur spekulasi.
Prinsip utama dalam melakukan perjanjian (akad) sharf adalah pertukaran mata uang secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi. Sharf membenarkan transaksi yang dilakukan untuk berjaga-jaga atau dalam bentuk simpanan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan transaksi sharf. Bila transaksi dilakukan untuk mata uang yang sejenis, maka nilai nominal harus sama dan secara tunai (taqabudh).
Untuk transaksi mata uang yang berbeda, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi berlaku. Jenis transaksi valuta asing dalam perbankan ini terbagi dalam empat kelompok.
Pertama, transaksi spot dimana penyelesaian paling lambat dua hari. Kedua, transaksi forward dengan harga waktu mendatang lebih dari dua hari. Ketiga, transaksi swap dimana kontrak pembelian dan penjualan dengan harga tertentu yang dikombinasikan. Jenis transaksi terakhir adalah option, dimana merupakan kontrak untuk memperoleh hak untuk membeli atau menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit pada harga dan jangka waktu tertentu.
Dari keempat jenis transaksi tersebut, sharf hanya memperbolehkan transaksi spot saja karena transaksi tunai. Sedangkan untuk ketiga transaksi lainnya tidak dibenarkan dalam sharf, karena menggunakan harga yang diperjanjikan muwa’adah) dan penyerahan dilakukan di kemudian hari.
Contoh produk jual beli salam di bank syariah adalah Produk Bank Syariah Tukar Bank Note ke Rupiah atau Tukar Rupiah ke TT (Valas).
KESIMPULAN
Jual beli sharf (money changing) adalah menjual nilai sesuatu dengan nilai sesuatu yang lain, meliputi emas dengan emas, perak dengan perak, dan emas dengan perak. Yang dimaksud dengan nilai adalah sesuatu yang diciptakan sebagai patokan harga. Termasuk juga menjual perhiasan dengan perhiasan dengan uang.
Berdasarkan hadis nabi SAW, para ulama membolehkan praktek jual beli sharf dengan syarat-syarat tertentu. Syarat keabshan jual beli sharf adalah bahwa penerimaanya harus di tempat transaksi, dan harus secara tunai serta tidak boleh ada penambahan pada dua barang yang sejenis untuk menghindari terjadinya riba.
Kemudian berdasarkan Fatwa DSN 28/DSN-MUI/III/2002, bahwa jual beli sharf pada prinsipnya boleh dengan ketentuan-ketentuan: Tidak untuk spekulasi (untung-untungan), Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan), Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh)., dan Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Kemudian mengenai aplikasi jual beli sharf ini, sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan internasional, perbankan syariah pun tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya pada pasar valuta asing. Perbankan syariah harus menyusun pedoman kerja operasional bagi dirinya agar juga mempunyia akses yang luas ke pasar valuta asing tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Ghufron A Mas'adi, Fiqh Muamalah Konstekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 149.
Murtadho Muthahari, Ar-Riba Wa At-Ta'min, Terj. Irwan Kurniawan "Asuransi dan Riba", Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, hlm. 219.
Dr. Muhammad bin Ibrahim, dkk., Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009, hlm 115.
M. Abdul Mujieb, et.al, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 34.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet Ke 3, Yogyakarta: Adipura, 2004, hlm. 78.
Tim Pengembangan Perbankan Syari'ah Institut Bankir Indonesia, Bank Syari'ah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 237.
Gemala Dewi, et.al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 98.
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm 88.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (alih bahasa oleh kamaluddin a. marzuki) jilid 12 cet ke-7, Bandung: 1995.
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm 196.
H. Cecep maskanul Hakim, M. Ec., Belajar Mudah Ekonomi Islam, Bekasi: Shuhuf Media Insani, 2011.
Untuk Download Artikel Klik Gambar
akang izin share y. :)
BalasHapusj
BalasHapus