PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun kenyataanya, tidak semua orang berprinsip demikian, dengan berbagai alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan bisa diterima masyarakat, perkawinan sering kali tidak dihargai kesakralannya. Pernikahan merupakan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga. Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan maupun hukum agama.
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia selalu bervariasi bentuknya. Mulai dari perkawinan lewat Kantor Urusan Agama (KUA), perkawinan bawa lari, sampai perkawinan yang populer di kalangan masyarakat, yaitu kawin sirri. Perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti “kawin bawah tangan”, kawin sirri atau nikah sirri, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi orang yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi orang yang beragama non Islam). Istilah sirri berasal dari bahasa arab yaitu sirra, israr yang berarti rahasia. Kawin sirri, menurut arti katanya, perkawinan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia. Dengan kata lain, kawin itu tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah. Kawin itu dianggap sah menurut agama tetapi melanggar ketentuan pemerintah.
Perkawinan menurut hukum Islam yang sesuai dengan dengan landasan filosofis perkawinan berdasarkan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Landasan filosofis itu dipertegas dalam Pasal 2 KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang berisi:
1. Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah.
2. Melaksanakan perkawinan adalah Ibadah.
3. Ikatan perkawinan bersifat miitsaqaan gholiidhan (ikatan yang kokoh).
Dalam landasan filosofis itu dirangkum secara terpadu antara Akidah, Ibadah, dan Mu’amalah.
Pernikahan merupakan sebuah ritual sakral yang menjadi tempat bertemunya dua insan yang saling mencintai, tanpa ada lagi batasan yang menghalangi. Meskipun demikian, banyak pula orang-orang atau pihak-pihak yang saat ini berusaha untuk memanfaatkan ritual tersebut hanya untuk memperoleh keuntungan, baik berupa materi atau sekedar untuk mendapatkan kepuasan seks saja, atau juga karena alasan-alasan lain.
Nikah sirri adalah salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di negara Indonesia. Memang, masalah nikah sirri ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka nikah tanpa sepengetahuan pihak berwenang tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perkawinan Sirri
Kawin dalam al-Qur’an disebut “nikah”, sedangkan nikah menurut bahasa adalah jima’ yang berarti penggabungan dan pencampuran, berhimpun/watha’.
Secara harfiah, kata nikah berarti “untuk mengumpulkan sesuatu”. Menurut istilah kata nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita/melakukan watha dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan/sesusuan. Kata sirri, israr yang berarti rahasia. Kawin sirri menurut arti katanya, perkawinan (ikatan seorang laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri) yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia.
2.1.1. Latar Belakang dan Sejarah Nikah Sirri
Mencatat bahwa istilah kawin sirri berasal dari ucapan Umar bin Khatab r.a ketika diberi tahu bahwa telah terjadi perkawinan yang yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka dia berkata yang artinya “ini nikah sirri dan aku tidak memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam.”
Pengertian kawin sirri dalam persepsi Umar bin Khatab r.a tersebut didasarkan oleh adanya kasus perkawinan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan. Ini berarti jumlah syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang maka perkawinan semacam ini menurut Umar bin Khatab r.a dipandang sebagai nikah sirri.
2.1.2. Hukum Perkawinan Sirri Menurut Hukum Islam
Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (batal).
Namun apabila saksi telah terpenuhi, tapi para saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan, ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik memandang perkawinan itu pernikahan sirri dan harus difasakh, karena yang menjadi syarat mutlak sahnya perkawinan adalah pengumuman (i’lan), keberadaan saksi hanya pelengkap. Maka perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa nikah semacam itu adalah sah. Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menilai, bahwa nikah semacam itu bukanlah nikah sirri karena fungsi saksi itu sendiri adalah pengumuman (i’lan). Karena itu kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi pada waktu melakukan akad nikah sudah cukup mewakili pengumuman, meskipun minta dirahasiakan, sebab menurutnya tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin sirri itu berkaitan dengan fungsi saksi. Ulama sepakat bahwa fungsi saksi adalah pengumuman (i’lan wa syuhr) kepada masyarakat tentang adanya perkawinan.
Kawin sirri dalam pandangan Islam adalah perkawinan yang dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan mutlak dari sahnya akad nikah yang ditandai dengan adanya: calon pengantin laki-laki dan perempuan, wali pengantin perempuan, dua orang saksi, ijab dan qobul.
Penjelasan diatas disebut rukun nikah, selain itu terdapat sunah nikah yang perlu juga dilakukan sebagai berikut: khutbah nikah, pengumuman perkawinan dengan penyelenggaraan walimah/perayaan, menyebutkan mahar atau mas kawin dengan demikian dalam proses perkawinan sirri yang dilaksanakan adalah rukun atau wajib nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilaksanakan, khususnya mengenai pengumuman perkawinan atau yang disebut walimah/perayaan. Dengan demikian orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan tertentu saja. Keadaan demikian disebut dengan sunyi atau rahasia/sirri.
Merujuk pada sejarah dan perkembangannya, kawin sirri pada awalnya merupakan perkawinan yang dilarang dalam Islam karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang berupa saksi. Ulama besar seperti Abu Hanifah, Maliki dan Syafi’i sepakat kalau perkawinan tersebut harus difasakh. Namun dalam perkembangannya di masyarakat Islam, kawin sirri merupakan perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan sehingga masyarakat memandang sah menurut agama (Islam). Namun demikian bila tanpa adanya wali dan saksi maka menurut agama Islam nikah sirri itu hukumnya tidak sah, mendasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam Daruquthni. Perbedaan pendapat seperti yang dikemukakan diatas dieliminir dengan pengumuman perkawinan.
Bila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian karena pada masa itu tradisi lisan yang mendominasi, sementara tradisi tulisan belum berkembang. Seharusnya dipahami bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengi’lankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing.
2.2. Konsep Perkawinan Sirri Di Indonesia
2.2.1. Asal-Usul Kawin Sirri
Praktek kawin sirri (tidak dicatatkan) yang kini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia tidak tidak lepas dari pengaruh tradisi Islam di negara-negara Arab yang dilakukan pada masa setelah Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya. Hanya saja terdapat beberapa perbedaan dan bahkan penyimpangan apa yang dilakukan pada masa pensyi’aran agama Islam di negara Arab waktu itu dan di Indonesia kini. Bahkan istilah nikah sirri berkembang dan di Indonesia disebutnya menjadi kawin bawah tangan , meski antara istilah kawin sirri dan kawin bawah tangan tidak selalu sama. Setidaknya ketidaksamaan itu adalah bila kawin sirri identik dengan orang-orang (pelaku) Islam, sementara istilah kawin bawah tangan biasa dilakukan oleh siapa saja (berbagai agama).
Namun demikian kedua istilah ini (kawin sirri dan kawin bawah tangan) biasa dipahami sebagai suatu perkawinan yang mendasarkan dan melalui tata cara pada agama dan kepercayaan serta adat istiadatnya tanpa dilakukan dihadapan dan dicatat pegawai pencatat nikah seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa Imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun nikah (pengumuman perkawinan) dalam bentuk walimatul ‘ursy (pesta) atau dalam bentuk yang lain.
Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain dan diumumkan kepada masyarakat dan tetangga sekitarnya sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur dan syarat-syarat. Diantara para ahli fiqih terdapat perbedaan pendapat memahami hal ini.
Adapun nikah sirri (perkawinan yang tidak dicatatkan) yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan dibawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah di atur didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan.
2.2.2. Tata Cara Perkawinan Sirri
Tata cara perkawinan sirri itu sendiri sebenarnya adalah sama dengan tata cara perkawinan yang telah ditentukan dan diatur dalam hukum perkawinan Islam. Hal demikian tentunya berbeda dengan tata cara perkawinan yang telah ditentukan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 12 yang menentukan tata cara pelaksanaan perkawinan, untuk selanjutnya diatur dan dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Perkawinan sirri dilakukan di hadapan tokoh agama atau di pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang kyai dengan dihadiri oleh beberapa orang yang berfungsi sebagai saksi. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan sirri ini cukup datang ke tempat kyai yang diinginkan dengan membawa seorang wali bagi mempelai wanita dan dua orang saksi. Biasanya bagi kyai setelah menikahkan pasangan kawin sirri ini, kyai menyarankan pada mereka agar segera mendaftarkan perkawinan mereka ke Kantor Urusan Agama setempat. Dalam perkawinan sirri ini yang bertindak sebagai kadhi atau orang yang menikahkan adalah tokoh agama atau kyai tersebut setelah menerima pelimpahan dari wali nikah calon mempelai wanita.
Dalam pelaksanaan perkawinan sirri ini dilakukan secara lisan dan tidak dicatat dalam suatu bukti tertulis atau akta atau dalam bentuk pencatatan lain. Semua identitas para pihak, hari pernikahan sirri, tanggal, tahun dan lain-lain tidak dicatat.
2.2.3. Beberapa Alasan Kawin Sirri
Fenomena perkawinan tidak tercatat yang biasa disebut kawin sirri dalam kehidupan masyarakat Indonesia, alasannya mulai dari mahalnya biaya pencatatan nikah sampai karena alasan personal yang harus dirahasiakan. Beberapa fakta dapat ditemukan berkawinan kawin sirri, yaitu:
a. Pernikahan sirri yang dilakukan oleh masyarakat umum tanpa adanya wali. Pernikahan semacam ini dilakukan rahasia dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju, atau karena tidak bisa menghadirkan wali dari pihak perempuan.
b. Pernikahan yang sah secara agama (memenuhi syarat dan rukun) namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
Dari berbagai kasus nikah sirri yang terjadi di berbagai daerah, banyak alasan mengapa perkawinan itu dilaksanakan, yaitu:
a. Karena sudah bertunangan, untuk menghindari perselingkuhan dan perzinahan lebih baik melakukan nikah sirri. Dalam kasus ini biasanya diantara calon pengantin salah satunya masih sekolah atau kuliah.
b. Untuk menghemat ongkos dan menghindari prosedur administratif dari RT, Lurah, dan KUA.
c. Karena calon isteri terlanjur hamil diluar nikah.
d. Untuk menghindari tuntunan hukum oleh isterinya dikemudian hari, karena perkawinan yang tidak dicatat oleh KUA tidak dapat dituntut secara hukum dipengadilan.
e. Untuk menghapus jejak, agar tidak diketahui oleh isteri pertama, sekaligus untuk menghindari hukuman administratif yang akan dijatuhkan oleh atasan, bagi mereka PNS atau anggota TNI/POLRI yang melakukan perkawinan untuk yang kedua kali.
f. Salah seorang dari calon pengantin (biasanya pihak perempuan) belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan melalui KUA.
g. Alasan yang bersifat khusus seperti di beberapa daerah yang telah menjadi tradisi melakukan perkawinan sirri sebelum menikah di hadapan pegawai pencatatan nikah (KUA), adanya sikap orang tua/wali yang menganggap bahwa ia memiliki hak dan kewajiban menikahkan anaknya (perempuan) dengan pasangan yang dicarikan tanpa meminta persetujuan anaknya.
2.2.4. Hubungan Perkawinan Sirri dan Pencatatan Perkawinan
Pada dasarnya istilah nikah sirri tidak dikenal dalam hukum negara. Hukum perkawinan Indonesia hanya mengenal istilah perkawinan yang dicatatkan dan tidak dicatatkan. Kawin sirri adalah realita, yang dipopulerkan masyarakat Indonesia untuk menyebut perkawinan yang tidak dicatatkan dihadapan pihak berwenang (Islam di KUA dan non Islam di Catatan Sipil) meski dalam perkembangannya sering terjadi penyimpangan dalam proses perkawinannya (ada yang sesui ketentuan agama dan ada yang tidak memenuhi syarat).
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan yang diatur negara misalnya, ditetapkan bahwa pencatatan merupakan syarat sah pernikahan. Aturan ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang menganggap pernikahan sebagai satu ikatan yang sangat sakral dan penuh dengan nuansa agama. Dalam prosesnya, nilai dan tradisi hukum lain yang juga secara informal terdapat di dalam masyarakat harus ditinggalkan atau disesuaikan dengan prinsip hukum negara. Dalam hal ini didapat bahwa kodifikasi hukum hukum perkawinan melalui penetapan UU No. 1/1974 berpengaruh buruk pada peran hukum perkawinan Islam. Hal itu karena ideologi monopoli hukum negara yang esensinya bertentangan dengan konsep Islam tentang Tuhan sebagai agen tunggal pencipta hukum menyingkirkan semua tradisi hukum keluarga yang sebelumnya telah berlaku di tengah masyarakat.
Peraturan pencatatan perkawinan, seperti tertuang dalam UU 22/1946 tetap dipertahankan oleh UUP yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila di catat dihadapan petugas resmi pencatat perkawinan sesuai syarat dan ketentuan. Tradisi pencatatan perkawinan ini tentu saja merupakan cara yang asing bagi hukum keluarga Islam. Para fuqoha sejak masa awal Islam selalu mendiskusikan persoalan kesaksian yang dibutuhkan untuk kesaksian upacara perkawinan (ijab qabul), tidak membahas perlunya mencatat perjanjian perkawinan diatas kertas.
Aturan negara untuk mencatat perkawinan bagi seluruh rakyat Indonesia sangat sulit untuk diterapkan terutama bagi muslim yang percaya bahwa perkawinan bagian dari praktek agama mereka. Ada pandangan lain sebagai dampak pemberlakuan aturan pencatatan perkawinan terhadap ajaran substansif hukum perkawinan Islam. Apa fungsi pencatatan tersebut terhadap status perkawinan pasangan muslim? Apakah tuntutan hukum? Tindakan adiministrasi? Perkawinan dicatat agar jangan sampai ada kekacauan.
Dengan demikian terdapat dua kelompok yaitu kelompok pertama pro kawin sirri dengan demikian menolak beberapa pasal dalam UUP termasuk pasal 2 ayat 2. Kelompok kedua menentang kawin sirri dengan dengan menerima semua pasal dalam UUP. Dua kelompok ini hingga kini masih melakukan silang pendapat berkaitan dengan kawin sirri dan pencatatan perkawinan.
Dari latar belakang historis itulah dapat diketahui bahwa adanya upaya negara untuk menertibkan perkawinan sirri melalui pencatatan perkawinan yang diatur melalui hukun negara sehingga lahirlah UUP, terlepas dari pro dan kontra. Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UUP inilah pemicu kontroversi perkawinan sirri, yang sah secara agama dan kepercayaannya tetapi tidak dicatatkan melalui lembaga pencatatan (KUA bagi Muslim dan Catatan Sipil bagi non Muslim).
Selain telah diatur dalam pasal 2 UUP, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), kesahan perkawinan dan pencatatan perkawinan juga diatur dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 4:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Pasal 5:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6:
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
2.3. Akibat Hukum Perkawinan Sirri
Menurut hukum Islam, akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah antara lain dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-senang antara suami istri tersebut.
2. Mahar (mas kawin) yang diberikan menjadi milik sang isteri.
3. Timbulnya hak dan kewajiban antara suami isteri, suami menjadi kepala rumah tangga dan isteri menjadi ibu rumah tangga.
4. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak yang sah.
5. Timbul kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak-anak dan isterinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama.
6. Berhak saling waris-mewarisi antara suami dan isteri dan anak-anak dengan orang tua.
7. Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda.
8. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya.
9. Bila diantara suami isteri meninggal salah satunya, maka yang lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap anak-anak dan hartanya.
Sebagian besar ahli hukum mengakui bahwa perkawinan sirri adalah sah dan tidak melanggar hukum negara tetapi berdampak negatif terhadap wanita dan anak-anak yang dilahirkan bila terjadi perceraian. Karena perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak diakui negara. Salah satu bentuk pengakuan ini adalah akte nikah sebagai bukti otentik telah terjadinya suatu perkawinan. Dengan adanya akte nikah ini, perkawinannya mempunyai kekuatan hukum, haknya dilindungi oleh Undang-Undang.
Kekuatan bukti bahwa telah terjadi perkawinan pada masa Rasulullah SAW (juga berlaku menurut fiqh/hukum Islam) terletak pada fungsi saksi yang akan memberikan kesaksian telah terjadinya pernikahan yang telah dikuatkan oleh wali yang telah menikahkan pengantin. Sementara kekuatan bukti perkawinan yang dicatatkan menurut hukum negara (UUP, PP No. 9/1975, dan KHI) yaitu akta nikah/buku nikah. Akta nikah sebagai bukti otentik sahnya perkawinan seseorang untuk menolak kemungkinan dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan untuk melindungi dari fitnah. Bila dikaitkan dengan hukum positif Indonesia, saksi juga dapat dipakai sebagai alat pembuktian atas telah terjadinya suatu peristiwa hukum termasuk perkawinan. Hanya saja dalam hal perkawinan, kesaksian saksi sebagai alat bukti belum diakomodir.
2.3.1. Kedudukan Isteri
Dalam syari’at Islam, memang tidak ada perbedaan prinsip antara perkawinan yang diatur dalam Hukum Islam maupun melalui hukun negara (UUP dan KHI), dalam terminologi fiqh syarat sah perkawinan menurut fuqaha, yaitu terpenuhinya semua rukun, syarat nikah dan tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang di tentukan oleh hukum syara’.
Meski menurut hukum Islam perkawinan sirri adalah sah tetapi perkawinan yang tidak dicatatkan ini, hukum negara tidak mengakuinya sehingga berbagai persoalan rumah tangganya termasuk bila di kemudian hari terjadi perceraian maka hanya bisa diselesaikan diluar jalur hukum negara, tetapi dilakukan secara musyawarah menurut hukum Islam dan penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat. Akibat lain dari perkawinan yang tidak dicatatkan ini terhadap isteri adalah; Isteri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami, isteri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja, apabila suami sebagai pegawai, maka isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.
Secara hukum negara perempuan yang dinikahi sirri tidak dianggap sebagai isteri yang sah. Dengan kata lain perkawinan itu dianggap tidak sah. Karena itu isteri sirri tidak berhak atas nafkah dan harta warisan suami jika suami meninggal dunia. Isteri sirri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perceraian. Isteri sirri tidak berhak mendapat tunjangan istri dan tunjangan pensiun dari suami karena namanya tidak tercatat.
Sedangkan secara sosial, isteri sirri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap masyarakat tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (kumpul kebo) atau sering dianggap sebagai isteri simpanan. Akibatnya akan mengurangi hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Mereka rentan untuk dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab karena mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat, mudah ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup dan tidak ada kepastian status dari suami, karena nikah sirri tidak diakui oleh hukum.
2.3.2. Kedudukan Anak
Pembahasan mengenai anak, hak dan kewajibannya serta hubungan dengan orang tuanya menurut hukum Islam, dalam paparan berikut akan dikupas mengenai kedudukan anak dari hasil perkawinan sirri dalam hubungannya dengan hukum negara (UUP dan KHI).
a. Nasab dalam Hukum Islam
Nasab dalam hukum Islam bisa diartikan sebagai keturunan. Nasab juga berarti legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.
b. Nasab dalam Hukum Perkawinan Indonesia
Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah. Hal ini dapat dipahami dari beberapa ketentuan, diantaranya pasal 42 dan 45 serta 47 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 42 dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Penentuan nasab anak kepada bapaknya dalam hukum perkawinan Indonesia didasarkan pada perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penetapan nasab berdasarkan perkawinan yang sah, diatur dalam beberapa ketentuan, yaitu:
Pertama, UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42 yang berbunyi: “anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.”
Kedua, kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan, anak sah adalah:
1. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
2. Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Bisa di pahami dari peraturan tersebut, seorang anak dapat dikategorikan sah, bila memenuhi salah satu dari syarat di bawah ini:
1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dengan dua kemungkinan, pertama, setelah terjadi akad nikah yang sah istri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, sebelum akad nikah isteri hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah akad nikah. Inilah yang dapat ditangkap dari pasal tersebut, namun perlu kiranya menjadi pertanyaan yang besar apakah memang demikian?
2. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, isteri hamil dan kemudian suami meninggal, anak yang dikandung isteri tersebut adalah anak sah sebagai akibat dari adanya perkawinan yang sah.
3. Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan suami isteri yang sah, dan kemudian dilahirkan oleh isterinya. Ketentuan ini untuk menjawab kemajuan tekhnologi tentang bayi tabung.
4. Anak dari Kawin Sirri dalam Hukum Negara
Stigma anak tidak sah dan anak diluar kawin dalam bahasa hukum di Indonesia bagi anak yang dilahirkan dari hubungan di luar kawin atau perkawinan yang tidak sah telah membenturkan hubungan hukum Islam dengan hukum negara dalam hal pengakuan anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri dianggap sebagai anak luar kawin (dianggap tidak sah) oleh negara sehingga anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada (Pasal 42 dan 43 UUP dan Pasal 100 KHI).
2.3.3. Kedudukan Harta Kekayaan
Hakekat dan tujuan pernikahan dalam Islam sebenarnya bermuara kepada ibadah untuk menciptakan keluarga bahagia sakinah, mawadah, dan rohmah yang diridhoi Allah SWT di dunia dan akhirat. Setiap perkawinan, masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum melakukan akad perkawinan. Suami atau isteri yang telah melakukan perkawinan mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut dengan harta bersama.
Suami maupun isteri mempunyai hak untuk mempergunakan harta bersama yang telah diperolehnya tersebut untuk kepentingan rumah tangganya tentunya dengna persetujuan kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan harta bawaan yang keduanya mempunyai hak untuk mempergunakannya tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dalam hukum Islam memberi hak kepada masing-masing suami isteri untuk memiliki harta benda secara perseorangan, yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. Suami atau isteri yang menerima pemberian, warisan dan sebagainya tanpa ikut sertanya pihak lain berhak menguasai sepenuhnya harta benda yang diterimanya itu. Harta bawaan yang mereka miliki sebelum perkawinan juga menjadi hak masing-masing pihak. Sedangkan yang dimaksud harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Dari uraian tersebut diatas, masing-masing pihak suami maupun isteri merasa berhak atas harta bersama yang diperoleh selama perkawinan mereka. Perebutan harta bersama ini menjadi rumit bila masing-masing pihak bersikeras dengan pendiriannya baik dialami ketika perceraian karena kematian salah satu pihak (perebutan harta warisan dengan para ahli waris) atau perceraian ketika kedua belah pihak masih hidup. Bila tidak bisa ditempuh secara musyawarah maka akan berujung pada gugatan melalui Pengadilan Agama, bahkan bisa menjadi sengketa.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Mengingat dampak perkawinan sirri (tidak dicatatkan) begitu luas maka harus ada upaya preventif dari berbagai pihak (pemerintah, praktisi dan penegak hukum, tokoh agama dan adat, organisasi perempuan, LSM, perangkat desa, aparat KUA, dan lain-lain), harus mensosialisasikan arti penting perkawinan yang sah secara agama dan diakui oleh negara agar mendapatkan kepastian hukum.
Pemerintah harus mengakomodir dan memberi solusi yang tepat bagi para pelaku perkawinan sirri, demi kemaslahatan umat dan kepastian hukum bagi pasangan dan anak yang dilahirkannya berupa deregulasi aturan/pemutihan dan pendataan pelaku perkawinan sirri dengan melibatkan tokoh agama dan adat serta perangkat desa untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Perkawinan masal yang selama ini sering diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat belum menyentuh dan menyelesaikan masalah perkawinan sirri. Tentu saja ini diluar jalur peradilan.
Perkawinan sirri di Indonesia sebagai suatu realita tidak bisa diberantas secara defensif. RUUPAP yang sedang diajukan Pemerintah ke DPR yang memuat klausal Denda dan Penjara yang sangat berat sebagai efek jera bagi pelaku kawin sirri dan kawin kontrak tidak akan menyelesaikan masalah karena perkawinan itu bukanlah kejahatan, akan tetapi memaknai dan melaksanakan ajaran agama berdasarkan pemahamannya, yang jelas dijamin oleh UUD dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Pemerintah seharusnya melakukan cara-cara preventif dan persuasif dengan aturan yang mendidik serta melindungi berbagai kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abul Yasin, Fatihuddin. 2006. Risalah Hukum Nikah. Surabaya: Terbit Terang.
Atho’ Mudzar, Muhamad. 1998. Membaca Gelombang Jihad Antara Tradisi dan Liberalisasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Azhar Basyir, Ahmad. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.
Hadikusuma, Hilman. 1999. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid. Beirut Libanon: Dar al-Fikr.
Idris Ramulyo, Moh. 2006. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Junus, Mahmud. 1979. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: Hidakarya Agung.
Kadir Muhamad, Abdul. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Lukito, Ratno. 2008. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler (Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia). Jakarta: Pustaka Alvabet.
Mayert, Ibrahim dkk. 1984. Pengantar Hukum Islam Indonesia. Jakarta: Garuda.
Nasution, Khoiruddin. 2009. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta: Academia Tazzafa.
Rofiq, Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soebukti. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.
Untuk Download Artikel Klik Gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar