1. PENDAHULUAN
Ju’alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu yang
diduga kuat akan diperolehnya. Misalnya seseorang yang menjadikan Ju’alah atas
suatu pekerjaan yaitu menemukan kembali yang hilang, atau ternaknya yang lepas,
atau pembuatan dinding, atau menggali sumur hingga menemukan air, atau
mengafalkan al-Qur’an untuk anaknya, atau menyembuhkan orang yang sakit hingga
sembuh, atau memenangkan suatu kompetisi tertentu dan sebagainya.Terkait dengan
masalah diatas, kita harus memahami definisi Ju’alah sendiri, dasar hukum,
jenis akad, persyaratan dan pembatalan Ju’alah itu sendiri.
2. DEFINISI
Ju’alah artinya janji hadiah atau upah.Pengertian
secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang
karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan
tertentu. Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizaam
(tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara
sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa
yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan”. Umpamanya, seseorang berkata : “Siapa saja yang dapat
menemukan SIM atau KTP saya yang hilang, maka saya beri imbalam upah lima puluh
ribu rupiah”. Dalam masyarakat Indonesia ini, biasanya diiklankan
disurat kabar supaya dapat dibaca orang. Madzhab Maliki
mendefinisikan Ju’alah : “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu
jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”. Madzhab
Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang
yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”. Definisi pertama
(Madzhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang
diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Madzhab Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian
orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan. Meskipun
Ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah
(Ulama Madzhab Hanbali), ia dapat dibedakan dengan Ijaarah (transaksi upah)
dari lima segi :
(1)
Pada Ju’alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang
menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek pekerjaan tersebut, jika
pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada Ijaarah,
orang yang melaksanakan pekerjaan tersbut berhak menerima upah sesuai dengan
ukuran atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum
selesai dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian
atau mingguan, tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu
masyarakat.
(2)
Pada Ju’alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau
untung-untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas
waktu penyelesaian pekerjaan atau cara dan bentuk pekerjaannya. Sedangkan pada
Ijaarah, batas waktu penyelesaian bentuk pekerjaan atau cara kerjanya
disebutkan secara tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai
dengan obyek pekerjaan itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam
Ju’alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau
cara mengerjakannya.
(3)
Pada Ju’alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan
dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam Ijaarah, dibenarkan memberikan
upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan
kesepakatan bersama asal saja yang memberi upah itu percaya.
(4)
Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa
yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa
menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti
mengiklankan disurat kabar. Sedangkan dalam akad Ijaarah, terjadi transaksi
yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika
perjanjian itu dibatalkan, maka tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi
pihak bersangkutan. Biasanya sangsinya disebutkan dalam perjanjian (akad).
(5)
Dari segi ruang lingkupnya Madzhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang
dibenarkan menjadi obyek akad dalam transaksi Ju’alah, boleh juga menjadi obyek
dalam transaksi Ijaarah. Namun, tidak semua yang dibenarkan menjadi obyek dala
transaksi Ijaarah, dibenarkan pula Menjadi Objek dalam transaksi Ju’alah.
Dengan demikian, ruang lingkup Ijaarah lebih luas daripada ruang lingkup
Ju’alah.Berdasarkan kaidah tersebut, maka pekerjaan menggali sumur sampai
menemukan air, dapat menjadi obyek dalam akad Ijaarah, tetapi tidak boleh dalam
akad Ju’alah. Dalam Ijaarah, orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima
upah, walaupun airnya belum ditemukan. Sedangkan pada Ju’alah, orang itu baru
mendapat upah atau hadiah sesudah pekerjaannya itu sempurna.
3. DASAR HUKUM
Madzhab Maliki, Syaf’i dan Hanbali berpendapat,
bahwa Ju’alah boleh dilakukan dengan alasan :
(1)
Firman Allah : “Penyeru-penyeru itu berkata : “kami kehilangan piala Raja, dan
siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta dan aku menjamin terhadapnya” (Yusuf : 72)
(2) Dalam
Hadits diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau upah dengan
cara Ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang diantara mereka
berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca surat Al
Fatihah. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena takut
hadiah tidak halal. Rasullah pun tertawa seraya bersabda : “Tahukah anda
sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi (yang positif). Terimalah hadiah itu dan
beri saya sebagian”. (HR. Jamaah, mayoritas ahli Hadits kecuali An Nasa’i).
(3) Secara
logika Ju’alah dapat dibenarkan, karena merupakan salah satu cara untuk
memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya dengan Ijaara dan Mudharabah
(perjanjian kerjasama dagang).
Madzhab Hanafi tidak membenarkan Ju’alah, karena
dalam Ju’alah terdapat unsur gharar, sebagaimana telah dikemukakan diatas.
Perbuatan yang mengandung gharar itu merugikan salah satu pihak dan dilarang
dalam Islam.Ibnu Hazm juga adalah ulama yang melarang Ju’alah,sebagaimana yang
dikatakannya di dalam al-muhalla, “tidak dibolehkan menjadikan Jua’alah
terhadap seseorang. Barangsiapa yang berkata kepada orang lain, “jika engkau
mampu mengembalikan budakku yang melarikan diri kepadaku, maka aku berkewajiban
membayarmu sekian dinar, atau seperti perkataan, “jika engkau melakukan ini dan
ini, maka engkau akan kuberikan sekian dirham, atau kalimat yang senada, dan
ternyata benar-benar terlaksan”.Dapat pula seseorang berseru dan bersaksi
kepada dirinya, “ barangsiapa yang dapat menyerahkanku hal ini,” dan ia
memperoleh apa yang dijadikan Ju’alah tersebut. Maka orang tadi berkewajiban
untuk membayarnya. Tetapi ia sisunnahkan untuk menepati janjinya, begitu juga
halnya bagi orang yang mampu mengembalikan budak yang melarikan diri, maka ia
tidak berhak mendapatkannya, baik orang yang menyuruh itu mengetahui bahwa
orang itu benar-benar datang membawa budaknya yang melarikan diri maupun tidak.
Kecuali apabila disewakan untuk memenuhi tugas tertentu dalam jangka waktu yang
terbatas, atau untuk tugas membawanya dari tempat tertentu, maka si pelaksana
berhak mendapatkan bayaran. Namun, bagi kaum yang mewajibkan Ju’alah tersebut,
mereka menentukan wajibnya memenuhi janji orang yang menyuruh memenuhi janjinya
tersebut. Sebagaimana firman Allah: ”wahai orang-orang yang beriman penuhilah
janji-janji….” (al-maidah: 1).Merekan juga berdalil pada hadist “tentang
pengobatan” dengan ayat Al-qur’an dengan imbalan upah atas beberapa ekor domba.
4. UCAPAN YANG DIGUNAKAN
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat,
bahwa agar perbuatan hukum yang dilakukan dalam bentuk Ju’alah itu dipandang
sah, maka harus ada ucapan (shigah) dari pihak yang menjanjikan upah atau
hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain untuk melaksanakan
perbuatan yang diharapkan dan jumlah upah yang jelas tidak seperti iklan dalam
surat kabar yang biasanya tidak menyebutkan imbalan secara
pasti. Ucapan tidak mesti keluar dari orang yang memerlukan
jasa itu, tetapi boleh juga dari orang lain seperti wakilnya, anaknya atau
bahkan orang lain yang bersedia memberikan hadiah atau upah.
Kemudian Ju’alah dipandang sah, walaupun hanya ucapan ijab saja yang ada, tanpa
ada ucapan qabul (cukup sepihak).
5. PERSYARATAN JU’ALAH
Agar pelaksanaan Ju’alah dipandang sah, harus
memenuhi syarat-syarat:
(1)
Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan
tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak,
orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
(2)
Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta
dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang
bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali).
(3)
Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan
boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
(4)
Madzhab Maliki dan Syai’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu,
Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan
(menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan
waktu.
(5)
Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu,
tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti
mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak.
6. PEMBATALAN
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang, bahwa
Ju’alah adalah perbuatan hukum yang bersifat suka rela. Dengan demikian, pihak
pertama yang menjanjikan upah atau hadiah, dan pihak kedua yang melaksanakan pekerjaan
dapat melakukan pembatalan.Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan
pendapat.Madzhab Maliki berpendapat, bahwa Ju’alah hanya dapat dibatalkan oleh
pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.Madzhab Syafi’i dan
Hanbali berpendapat, bahwa pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak
setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai dilaiksanakan, karena
pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela. Namun, menurut mereka, apabila
pihak pertama membatalkannya, sedangkan pihak kedua belum selesai
melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai
dengan volume perbuatan yang dilaksanakannya. Kendatipun pekerjaan itu
dilaksanakan atas dasar suka rela, tetapi kebijaksanaan perlu diperhatikan.
7. PENUTUP
Ada beberapa madzhab ulama seperti: Madzhab Maliki,
Syaf’i dan Hanbali berpendapat, bahwa Ju’alah boleh dilakukan, dan ada pula
yang mengharamkan Ju’alah karena mengandung unsur Gharar. Dengan pembahasan
diatas kita dapat mengetahui seperti apakah Ju’alah itu, dan apa saja yang
menyebabkan boleh atau tidak diperbolehkannya Ju’alah. Wallahu a’lam bis
shawab.
8. REFERENSI
Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, M. Ali
Hasan,RAJA BRAFINDO PERSADAv The Ja’ala Contract and Its Applicability to
the Mining Sector, Dr. Boulaem Bendjilali, ISLAMIC DEVELOPMENT BANK ISLAMIC
RESEARCH AND TRAINING INSTITUTE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar