BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan atau kekerasan adalah suatu fenomena yang sering kita dengar dan
lihat, baik di media massa maupun realitas yang ada di sekitar lingkungan dan
masyarakat kita. Kejahatan adalah hal yang sulit dihilangkan dalam kehidupan,
bahkan sejak zaman Rasulullah sampai para sahabat, tak terlepas dari adanya
kejahatan yang timbul di zamannya. Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatur hukuman
bagi orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, tetapi tetap saja sulit untuk
mencegah adanya kejahatan secara menyeluruh.
Kabar terbaru dan yang hangat dibicarakan, khalayak serta media massa dan
elektronik yaitu tindakan makar (Al-Baghyu). Bentuk kejahatan masal yang
mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu
untuk memberantas danmencegah segala kemungkinan terjadinya tindakan tindakan
makar (Al-Baghyu).
Pada kesempatan kali ini, pemakalah diberikan kepercayaan untuk membahas
tentang “Pidana Tindakan makar (Al-Baghyu) (Pendekatan Fikih Jinayah dan KUHP)”.
Pemakalah akan mencoba membahas, terutama tentang hukuman yang akan diberikan
pada pelaku tindakan makar (Al-Baghyu) berdasarkan ayat-ayat
al-Qur’an yang sudah ada, dan dari undang-undang negara yang berpedoman pada
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan
umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan
baik dalam penulisan maupun pembahasan, pemakalah memohon maaf yang
sebesar-besarnya dan pemakalah menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk
dapat memperbaiki makalah ini yang pemakalah sadari penuh dengan kekurangan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Al-Bghyu/Pemberontakan?
2.
Apa Dasar Hukum Al-Baghyu/Pemberontakan dalam nash?
3.
Apa saja indikasi dari perbuatan Pemberontakan?
4.
Apa saja hal-hal yang berhubungan dengan tidakan Pemberontakan
dalam perspektif Fiqh Jinayah dan perspektik Hukum Negara Indonesia?
C.
Tujuan Penyusunan
Tujuan dari penyusunan
makalah ini adalah untuk mensosialikan mengenai perbuatan
Al-Bahyu/Al-Hirabah/Pemberontakan/Terorisme dalam pandangan Fiqh Jinayah (Hukum
Pidana Islam) dan Pandangan Hukum Negara Repubik Indonesia (KUHP).
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Baghyu
(Pemberontakan)
Al-Baghyu menurut
bahasa adalah mencari,
menghendaki, menginginkan, melampaui batas, zalim.[1] Pemberontakan menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah proses, cara, perbuatan memberontak;
penentangan terhadap kekuasaan yang sah.[2]
Sedangkan menurut istilah Al-Baghyu adalah keluarnya seseorang dari
ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya
melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan
diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan
mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib..[3]
Kata al-baghyu artinya
dzalim atau aniaya, sedangkan kata al-baaghy menurut istilah ulama adalah orang
yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau melaksanakan apa yang menjadi
kewajibannya.[4]
2. Jinayah Perbuatan
Pemberontakan/Makar/Al-Baghyu/Terorisme
Jarimah mengenai
jinayah perbuatan makar atau al-baghyu telah diatur dalam nash baik al-quran
maupun sunnah selain telah diatur dalam hukum pidana islam perbuatan inipun
telah dibahas dalam regulasi pemerintahan Indonesia yang biasa disebut dalam
Undang-undang sebagai kejahatan terorisme.
Pidana tentang
terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari pelaku
terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang
dari sudut Fikih Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut
Fikih Jinayah karena di dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa
dengan pemberontakan, pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang
pidananya telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
3. Al-Baghyu Dipandang Dari
Sudut Pandang Fikih Jinayah
Salah satu bentuk
pemberontakan yang terkenal di Indonesia adalah perbuatan terorisme yang dapat
dikatagorikan sebagai pemberontakan, karena kenyataannya praktek terorisme
mengancam keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena
itu pemakalah memasukkan pidana pemberontakan ke dalam pidana terorisme.
Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak
terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka
sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan,
hendaklah dihentikan penumpasan.[5] Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib karena dari segi perbuatan ini
sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada perbuatan maksiat dan oleh
karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat fisik di dunia, maka
tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.
4. Dasar Hukum
ditetapkannya Jarimah Al-Baghyu/Pemberontakan
Yang menjadi dasar diancamnya pelaku makar atau pemberontakan atau al-baghyu
tersebut adalah al-Qur’an dan As-Sunnah.
4.1.
Dasar Hukum dalam Al-Qur’an
QS. Al-Maidah Ayat 33
$yJ¯RÎ) (#ätÂty_ tûïÏ%©!$# tbqç/Í$ptä ©!$# ¼ã&s!qßuur tböqyèó¡tur Îû ÇÚöF{$# #·$|¡sù br& (#þqè=Gs)ã ÷rr& (#þqç6¯=|Áã ÷rr& yì©Üs)è? óOÎgÏ÷r& Nßgè=ã_ör&ur ô`ÏiB A#»n=Åz ÷rr& (#öqxÿYã ÆÏB ÇÚöF{$# 4 Ï9ºs óOßgs9 Ó÷Åz Îû $u÷R9$# ( óOßgs9ur Îû ÍotÅzFy$# ë>#xtã íOÏàtã ÇÌÌÈ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik[6], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar,” (QS. Al-Maidah : 33)
QS. As-Syuro Ayat 40
(#ätÂty_ur 7py¥Íhy ×py¥Íhy $ygè=÷WÏiB ( ô`yJsù $xÿtã yxn=ô¹r&ur ¼çnãô_r'sù n?tã «!$# 4 ¼çm¯RÎ) w =Ïtä tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÍÉÈ
“Dan Balasan suatu kejahatan
adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik[7] Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang zalim.” (QS. As-Syuraa :40 )
QS. Al-Hujurot Ayat 9
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ÌøBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä úüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ
“Dan kalau ada dua golongan dari
mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi
kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
Berlaku adil.(QS. Al-Hujurat: 9)”
4.2.
Dasar Hukum Dalam As-Sunnah
من أعطى إماما صفقة يده
و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنقه (مسلم)
Siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang
imam (penguasa) dan telah menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia
semaksimal mungkin. Bila datang yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka
bunuhlah dia. (HR. Muslim)
من حمل علينا السلاح
فليس منا
“Barang siapa membawa senjata
untuk mengacau kita, maka bukanlah ia termasuk umatku (HR. Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Umar).
من خرج على الطاعة وفارق
الجماعة ومات فميتته جاهلية
“ Barang siapa keluar dari
loyalitas agama dan berpisah dari jama’ahnya kemudian ia mati maka mayatnya
adalah mayat jahiliah (HR. Muslim)
Dari penjelasan Allah
dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat dipahami bahwa tindakan
yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah sebagai berikut[8] :
Pertama : melakukan ishlah atau perdamaian dengan pihak pelaku
makar, yang dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk
menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada imam. Bila perlawanan
tersebut dilakukan karena imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari
ketentuan agama, maka imam memberikan penjelasan atau memperbaikinya.
Kedua : bila cara pertama
tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap berlangsung maka imam
memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan tidak ada lagi
perlawanan.
Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, untuk dapat menentukan hukuman terhadap
pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan menjadi dua bentuk.
Pertama: para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan
tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti
ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap
dan memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.
Kedua: pemberontak yang
menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap para
pemberontak seperti ini, pihak pemerintah menghimbau terlebih dahulu untuk
menyerah dan bertaubat, jika masih melawan maka pemerintah dapat memerangi
mereka.
5. Syarat- Syarat
Al-Baghyu/Pemberontakan yang dapat dijatuhi Hukuman
a. Pelaku hirabah orang
mukallaf.
b. Pelaku hirabah membawa
senjata.
c. Lokasi hirabah jauh
dari keramaian.
d. Tindakan hirabah secara
terang-terangan.
Mengenai syarat-syarat diatas terdapat beberapa pertentang diantara para
ulama sebagian ulam mengatakan bahwa jika hadd al-baghyu ini gugur bagi anak
kecil dan orang gila maka hadd tersebuutpun akan gugur bagi orang dewasa dan
berakal namun yang akan dikenakan haddnya adalah perbuatan yang telah dilakukan
misalkan perbuatan makar tersebut telah menewaskan seseorang maka pelaku makar
tersebut terkena hadd pembunuhan dan seterusnya berlaku bagi perbuatan yang
lain.[9]
Sedangkan menurut madzhab maliki dan dzahiriyah mengatakan bahwa hadd
pemberotakan gugur bagi anak kecil dan orang gila tetapi tidak gugur bagi orang
dewasa dan berakal (mukallaf). Karena hadd ini adalah hak Alloh sedangkan dalam
melaksanakan hak Alloh itu anak kecil dan orang gila tidak boleh disamakan
dengan orang yang mukallaf.
Dalam hal ini tidak ada permasalahan mengenai gender dan status baik itu
laki-laki atau perempuan dan baik itu orang yang merdeka ataupun budak.
Mengenai permasalahn senjata Imam Syafi’i, Maliki, Pengikut Hambali, Abu Yusuf,
Abu Tsaur dan Ibnu Hazm yang dianggap hirabah adalah motif tindakan
kejahatannya bukan dilihat dari senjatanya. Namun berbeda dengan pandangan Imam
Abu Hanifah yang berpendapat bahwa tindakan yang hanya bersenjatakan batu dan
tongkat tidak termasuk hirabah.
Mengenai tempat keramaian sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Tsauri,
Ishak, dan mayoritas ulama fiqh dari golongan fiqh berpendapat bahwa jika
kejahatan hirabah ini dilakukan ditempat
keramaian maka ini tidak dapat dikatan hirabah karena sang korban dapat meminta
tolong sehingga akan dengan mudah melumpuhkan pelaku kejahatan. Menurut
sebagian ulama lain berpendapat bahwa tindak kejahatan itu dipadang atau
ditempat ramai sekalipun itu dapat dikategorikan hirabah karena ayat mengenai
hirabah secara umum menyangkut segala jenis hirabah baik dipadang maupun
ditempat keramaian.[10]
Mengenai tindakan secara terang-terangan karena inilah sebagai pembeda dari
tindak kejahatan lainnya jika dilihat dari segi prosesnya apabila perbuatan
kejahatan itu secara senbunyi-sembunyi itu dinamakan pencurian dan jika ia
merebut harta kemudian lari maka itu dinamakan penjambretan atau perampasan.
6. Perbuatan-perbuatan
yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman yang dijatuhkan bagi Pelakunya
dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah)
6.1.
Pembunuhan
Tidak diragukan lagi, faktanya kejahatan terorisme telah menelan banyak korban,
melihat fenomena itu, maka pemakalah menyamakan pidana terorisme dengan pidana
pembunuhan.
Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau
beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal
dunia.[11] Hukuman yang akan dibahas adalah pembunuhan yang disengaja, karena melihat
dari motif pelaku terorisme adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan
kejahatan.
Ancaman terhadap pembunuhan sengaja ada tiga bentuk, yaitu:
Pertama: hukuman pokok, terhadap pembunuhan sengaja adalah qishash atau
balasan setimpal. Karena pembunuhan ini mengakibatkan kematian, maka balasannya
yang setimpal adalah kematian juga.(QS. Al-Baqarah: 178).
Kedua: hukuman pengganti,
hukuman ini dilaksanakan jika mendapat maaf dari kerabat yang terbunuh (QS.
Al-Baqarah: 178), dengan memberikan 100 ekor unta.
Ketiga: hukuman tambahan, baik
qishash maupun diyat merupakan hak bagi kerabat si terbunuh, mereka dapat
menuntut dan pula tidak menuntut. Namun hukuman tambahan ini merupakan hak
Allah yang tidak dapat dimaafkan. Hukuman tambahan pertama adalah kafarah dalam
bentuk memerdekakan budak. Bila tidak dapat melakukannya diganti dengan puasa
dua bulan berturut-turut (QS. An-Nisa: 92). Hukuman tambahan kedua adalah
kehilangan hak mewarisi dari yang dibunuhnya.
6.2.
Penganiayaan atau Pencederaan
Kejahatan terorisme menelan begitu banyak korban, tidak sedikit yang meninggal
dunia, tetapi tidak sedikit pula yang mengalami luka-luka, bahkan hingga cacat
atau kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya akibat dari kejahatan
terorisme tersebut. Maka di sini pun pemakalah mengambil pidana penganiayaan
atau pencederaan masuk ke dalam pidana terorisme.
Penganiayaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
dengan sengaja atau tidak sengaja untuk menganiaya atau mencederai orang lain.
a. Memotong
bagian-bagian badan seperti tangan, telinga dan alat kelamin.
b. Menghilangkan
fungsi bagian-bagian badan seperti murusak pendengaran.
c. Pelukaan di
bagian kepala.
d. Pelukaan di
bagian tubuh lainnya.
e. Di luar
ke empat bentuk tersebut di atas, seperti memukul dengan alat yang tidak
melukai.
Ancaman hukuman
terhadap pelaku ada dua tingkat:
Pertama: hukuman pokok yaitu qishash atau balasan setimpal. Dalam lima
bentuk penganiayaan tersebut di atas yang mungkin diberlakukan qishash hanyalah
pada penghilangan atau pemotongan bagian badan dan pelukaan di bagian kepala
yang sampai pada tingkat muwadhihah, yaitu luka yang sampai menampakkan
tulang.
Kedua: hukuman pengganti,
yaitu diyat yang jumlahnya berbeda antara kejahatan yang satu dengan
yang lainnya. Ketentuan diyat untuk setiap bagian badan ini dijelaskan oleh
Nabi dalam hadisnya dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru yang dikeluarkan oleh
Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ahmad bahwa barangsiapa yang membunuh
orang mukmin dan cukup bukti, maka hukumannya adalah qishash, kecuali bila
dimaafkan oleh keluarga yang terbunuh. Pembunuhan diyatnya adalah 100 ekor
unta. Bila hidung terpotong maka hukumannya adalah satu diyat, untuk dua mata
hukumnya adalah satu diyat, untuk lidah satu diyat, untuk dua bibir satu diyat,
untuk zakar satu diyat, untuk dua pelir satu diyat, untuk sulbi satu diyat,
untuk satu kaki setengah diyat, untuk setiap anak jari dari jari kaki dan
tangan 10 ekor unta, untuk sebuah gigi 5 ekor unta.
7.
Perbuatan-perbuatan yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman yang
dijatuhkan bagi Pelakunya dalam Perspektif Regulasi Pemerintahan Indonesia (KUHP)
7.1.
Terorisme
Berbagai pendapat pakar
dan badan pelaksana yang menangani masalah terorisme, mengemukakan tentang
pengertian terorisme secara beragam. Whittaker (2003) mengutip beberapa
pengertian terorisme antara lain menurut Walter Reich yang mengatakan bahwa
terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan
hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di kalangan
masyarakat umum.[13]
Pengertian lain yang dapat
dikutip dari beberapa badan yang berwenang dalam menangani terorisme, adalah
penggunaan kekerasan yang diperhitungkan dapat memaksa atau menakut-nakuti
pemerintah-pemerintahan, atau berbagai masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan
yang biasanya bersifat politik, agama atau ideologi.[14]
Pidana terorisme telah
diatur dalam KUHP tentang pidana terorisme, tetapi pemakalah hanya akan
mengemukakan pasal-pasal yang di dalamnya terdapat unsur-unsur kejahatan
terorisme,
Pasal 106:
Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian
wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah
negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 107:
(1) Makar dengan maksud
untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para
pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 108:
(1) Barangsiapa bersalah
karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
1.
Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
2.
Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama
atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para
pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 187
Barang
siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
1.
Dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika karena perbuatan tersebut
di atas timbul bahaya umum bagi barang;
2.
Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, jika karena perbuatan tersebut
di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain.
3.
Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
20 tahun, jika karena perbutan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang
lain dan mengakibatkan orang mati.
3.
BAB XIX (KEJAHATAN TERHADAP NYAWA). [17]
Pasal 338:
Barangsiapa dengan
sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal 340:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lan, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun.
4.
BAB XX (PENGANIAYAAN). [18]
Pasal 351:
(1) Penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan
disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk
melakukan kejahatn ini tidak dipidana.
5.
BAB XXVII (MENGHANCURKAN ATAU MERUSAKKAN BARANG). [19]
Pasal 406:
(1) Barangsiapa dengan
sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai
atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Dijatuhkan pidana yang
sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan,
membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain.
Demikianlah pidana bagi kejahatan terorisme yang terdapat di dalam KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) berdasarkan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
AL-Baghyu atau biasa
disebut pemberontakan adalah suatu fenomena yang sering terjadi dalam sebuah
negara, tidak terlepas dari negara Indonesia sebagai nagara domisili kita saat
ini juga terdapat banyak tindak pemberontakan yang dilakukan sekelompok orang
untuk menentang pemerintahan yang diakui secara de facto dan de jure.
Perbuatan makar ini
telah diatur dalam hukum pidana islam (Fiqh Jinayah) yang diambil dari nash
baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan regulasi negara republik Indonesia
yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantara perbuatan yang
berhubungan dengan tindakan Al-Baghyu adalah Pembunuhan, tindak pidana
penganiyaan, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencurian dan lain-lain.
Terdapat banyak
perselisihan mengenai permasalahan perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai jinayah al-baghyu untuk dapat menentukan jarimah bagi pelaku tindakan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Husaini, Abu Bakar,
Imam Taqiyuddin. Kifayatul Akhyar. Penerjemah Achmad Zaidun dan A.
Ma’ruf Asrori. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997.
Ali, Zainuddin. Hukum
Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
Anton M.Moeliono, dkk. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.1992
Ash-Shiddieqy, Muhammad
Hasbi, Teungku. Hukum-Hukum Fiqh Islam.Semarang : Pustaka Rizki Putra,
2001.
Hendropriyono, Mahmud,
Abdullah. Terorisme: Fundamen- talis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta :
Kompas, 2009.
Sayyid Sabieq. Fiqh
Sunnah jilid 9. Bandung : PT. Al-Ma’arif. 1993.
Soerodibroto, Soenarto.
KUHP DAN KUHAP. Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Sofware Kamus
Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, VerbAce-Pro
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis
Besar Fiqh. Jakarta : Kencana., 2005.
Tim Penyusun. Ensiklopedi
Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999.
[1] Kamus
VerbAce-Pro
[3]
http://islamwiki.blogspot.com/2010/08/memahami-kembali-hukum-pidana-islam.html
[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001). hal. 478-479.
[6] Maksudnya Ialah:
memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi Maka dipotong
tangan kiri dan kaki kanan.
[7] Yang dimaksud berbuat
baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya.
[10] Ibid.
Hal.178
[13] A. M. Hendropriyono. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. (Jakarta:
Kompas, 2009). hal. 25-26.
Untuk Download Artikel Klik Gambar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar