My Campus
Faiz AL-Husaini
Minggu, 06 Mei 2012
HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL
BAB I
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Latar belakang masalah adalah banyaknya terjadi kehamilan di luar nikah yang dianggap sudah menjadi suatu hal wajar sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini yang mendorong diharuskannya adanya suatu pernikahan yang mengandung dosa atau yang sering kita dengar adalah MBA (married by accident) adalah salah satu bentuk pernikahan yang mengandung kemungkaran. Karena dalam pernikahan tersebut ada unsure melegalisasi perbuatan dosa.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah ini adalah bagi mana sikap para ulama klasik maupun kontemporer dalam menghadapi kasus pernikahan yang disebabkan karena hamil di luar nikah untuk membentuk suatu fatwa yang dapat menjadi suatu kemashlahatan.
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini adalah agar mengetahui status hukum menikahi wanita hamil di luar nikah serta argumentasi para ulama dalam beristimbath hingga melahirkan suatu hukum, dan efek terhadap nasab anak yang dilahirkan diluar nikah serta pembagian waris anak zina.
D. METODE PENULISAN
Metode penulisan dalam paper ini adalah yang pertama mengetahui sebab-sebab terjadinya pernikahan dalam keadaan hamil, kemudian yang kedua, hukum menikahi wanita hamil serta argumentasi para ulama tentang kasus ini, ketiga, status anak zina, keempat, system pemabagian waris anak yang lahir di luar nikah. Dan yang kelima adalah hukum menghadiri undangan MBA (married by accident).
BAB II
PEMBAHASAN
MASALAH MENGAWINI WANITA HAMIL DAN STATUS ANAK ZINA
A. Mengawini Wanita Hamil
Setiap manusia menghendaki menikah dalam keadaan suci, seorang suami tidak pernah menggauli seorang wanita, begitu juga seorang wanita harus mampu menjaga dirinya dari pergaulan bebas yang saat ini semakin marak. Sehingga kita saksikan mereka terpaksa kawin dalam keadaan hamil. Bagaimana Islam memandang pernikahan ini. Oleh karena itu permasalahan ini akan dibahas dalam pembahasan berikut ini :
Diantara sebab seorang lelaki mengawini wanita hamil adalah sebagai berikut :
1. Pergaulan bebas yang telah dilakukan oleh sepasan lelaki dan perempuan yang menyebabkan kehamilan, dan lelaki di tuntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan hubungan seks sebelum terjadi akad nikah menurut ajaran Islam.
2. Perkawinan harus dilakukan karena menutup malu keluarga wanita. Kehamilan diluar nikah adalah sebuah aib dan sulit untuk di tutup-tutupi. Sehingga harus segera dilakukan perkawinan agar tertutupi aib tersebut.
B. Hukum Mengawini Wanita Hamil
Hukum mengawini wanita hamil karena diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya adalah haram karena masih dalam keadaan iddah. Adapaun yang dimaksud di sini adalah hokum mengawini wanita hamil karena zina, maka secara umum para ulama menetapkan bahwa yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan, baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain kecuali telah memenuhi dua syarat :
Pertama, dia dan si laki-laki telah bertaubat dari perbuatan zinanya. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah,Ishaq dan Abu Ubaid.Sedangkan imam Malik, Syafi’I, dan Abu Hanifah tidak mensyaratkan bertaubat.
Dari kedua pendapat di atas yang benar dalam kedua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Pendapat pertama ini diperkuat dengan pendapat Syaikul Islam Ibnu Taimiah dalam Al fatawa 32/109 : “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, pakah yang menikahinya itu yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”.
Allah Swt pun telah menegaskan dalam firman-nya :
• •
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. (Q.S An-nur : 3)
Dan dalam hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Abdullah bin Amr bin Ash, beliau berkata :
“Sesunguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawu membawa tawanan perang dari Makkah ada seorang perempuan pelaYa Rasulullah, saya nikahi anaq? Martsad berkata : Maka beliau diam, maka turunlah ayat, “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik”. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata : jangan kamu nikahi dia”. (Hadits hasan,riwyat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa’I 6/66dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180, Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam Al-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh Sayikh Muqbil rahimahulullah dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hokum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapaun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hokum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa sepertiorang yang tidak ada dosa baginya”. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Bani dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya).
Syaikh Al-Utsaimin berpendapat berkaitan dengan firman Allah Swt di atas (Q.S An-Nur : 3) bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan atri,bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahinya kepada putri-nya.
Bila seseorang telah mengetahui, bahwa pernikahan ini haram dilakukan namun dia memaksakan dan melanggarnya, maka pernikahnnya tidak sah dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinah-an. Bila terjadi kehamilan, maka si anak tidak dinisbatkan kepada lelaki itu atau dengan kata lain, anak itu tidak memiliki bapak. Orang yang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal dia tahu bahwa Allah telah memngharamkannya, maka ia dihukumi sebagai orang musyrik.
Kedua, Dia harus beristibra. (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidh, bila tidak hamil, dan bila ternyata hamil, maka sampai melahirkan kandungannya. Rasulullah Saw bersabda :
“Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahirkan dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai ia beristibra? dengan satu kali haid”.
Dalam hadits di atas,Rasulullah melarang menggauli budak dari tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haid, padahal budak itu sudah menjadi miliknya. Juga sabdanya : Artinya, Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan HAri akhir, dia menuangkan air (maninya) padasemainan orang lain”.
Mungkin sebagaian orang bertanya,bahwa yang dirahim itu adalah anak yang terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinahinya yang hendak menikahinya. Kenapa tidak dibolehkan menyetubuhinya. Jawabannya adalah apa yang dikatakan oleh Al-Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asyaikh, “Tidak boleh menikahinya sampai ia taubat dan selesai dari iddahnya dengan melahirkan kandungannya,karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk dank arena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram”.
Jawaban tersebut menjadi jelas bahwa sekalipun laki-laki yang menzinahinya terlah bertaubatdan mengawininya, tetap laki-laki yang sudah menjadi sumi itu tidak boleh menyetubuhinya sampai istri yang dizinahinya itu melahirkan. Hal ini dikarenakan ada perbedaan dua mani yang najis dan suci, baik dan buruk dan dari sisi halal dan haram.
Syarat wajib iddah ini dipegang oleh Hasan Al-Bashrim An-Nakha’I, Rabi’ah bin Abdurrahman, Imam Malik,Ats-Tsauri, Imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih.
Sedangkan Imam Syafi’I dan Abu Hanifah tidak wajib Iddah. Artinya lelaki yang mengawini wanita hamil boleh menyetubuhinya tidak perlu menunggu sampai melahirkan. Karenna iddah hanya berlaku bagi mereka yang sudah menikah. Sadengkan hamil di luar nikah tidak diysaratkan secara khusus dalam nash ketentuan memiliki iddah. Namun ada perbedaan mendasar antara Imam Syafi’I dan Abu Hanifah. Namun imam Syafi’I boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang menzinahinya maka oleh melakukan akad nikah tetapi tidak boleh ber-jima’ sampai istibra (telah nampak kosongnya rahim dan janin) dengan satu kali haid atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Dari kedua perbedaan pendapat di atas, tampaknya perlu untuk ditarjih (diunggulkan). Pendapat yang benar adalah pendapat yang wajib iddah berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry ra,sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda tentang tawanan perang Authos :
لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan pula yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (H.R Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobrany dalam Aushat no. 1973 dan Ibnu Jauzy dalam At-Tahqiq no.307 dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama syarik bin Abdullah An-Nakh’iy dan ia lemah karena hafaannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang sahabat sehingga dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Bany dalam Al-Irwa no. 187).
2. Hadits Ruwaifi bin Tsabit r.a dari Nabi Saw, beliau bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَسْقِ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain”. (H.R Ahmad 4/108, Abu Daudno. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni’ dalam Mu’jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqat 2/114-115, Ath-Thobrany 5/no. 4482 dihasankan oleh Syaikh Al-Bany dalam Al-Irwa no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda’ riwayat Muslim dari Nabi Saw :
أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوا نَعَمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لَا يَحِلُّ لَهُ
“Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya? (para Sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisi sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudaknya sedangkan ia tidak halal baginya”.
Berkata Ibnu Qoyyi r.a : “Dalam hadits ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak), Syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran), atau karena zina.
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, Asy-Syinqithi, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Saimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia).
Dari uraian di atas dapat diambil pelajaran bahwa manusia harus berpikir seribu kali untuk berbuat, jangan sampai perbuatan yang dilakukan adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan Allah, termasuk pelanggaran tersebut itu adalah perzinahan yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Padahal ancaman bagi para pelaku zina adalah dirajam 80-100 kali dera.
Meskipun ada sebagian ulama yang menganggap sah pernikahan yang dilangsungkan pada saat hamil di luar nikah,bukan berarti mereka mengizinkan atau membolehkan perzinahan. Pendapat para ulama yang membolehkan pernikahan wanita hamil kerena zini ini tanpa ada syarat tertentu didasarkan kepada keterangan-keterangan sebagai berikut :
1. Abu Bakar As-Shidiq r.a dan Umar bin Khatab r.a serta para fuqaha umumnya, menyatakan bahwa seseorang menikahi wanita yang pernah dizinahinya adalah boleh. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikahi secara sah.
2. Adanya hadits Nabi yang membolehkan hal itu
Dari Aisyah r.a berkata : Rasulullah Saw pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda : Awalnya perbuatan kotordan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.
3. Hadits lainnya.
Seseorang bertanya kepada Rasulullah Sa, istriku ini seorang yang suka berzina. Beliau menjawab, Ceraikan dia, tapi aku takut memberatkan diriku. kalau begitu mut’ahillah dia.
4. Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalua yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghailinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
5. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengtakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkandan telah habis masa iddahnya.Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinahnya. Jika belum bertobat dari dosa zinahnya, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun.
6. Pendapat Imam Syafi’I Adapaun Imam Syafi’I berpendapat, bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.
7. Undang-undang Perkawinan RI Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan intruksi Presiden Ri no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Mentri Agama RI no. 154 tahun 1991telah disebutkan hal-hal berikut :
1) Seorang wanita hamil di luar nikah, data dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Ketentuan tersebut di atas, hendaknya tidak mengakibatkan bertambahnya para wanita yang hamil di luar nikah. Karena banyak juga ulama selain empat madzhab di atas, yang diharamkan menikahi wanita hamil di luar nikah sebagimana telah dibahas di atas.
Lebih lanjut, Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah dengan tegas mengatakan bahwa perbuatan zina yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah merupakan tindak pidana, yang akan mengakibatkan sebagai berikut :
1. Zina dapat menghilangkan nasab (keturunan) dan dengan sendirinya menyia-nyiakan harta warisan ketika orang tuanya (tidak sah) meninggal dunia.
2. Zina mengakibatkan tidak adanya saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya mewarisi dengan ibunya saja.
3. Zina juga tidak dapat menjadi wali bagi anak perempuan, karena dia lahir akibat hubungan di luar nikah.
Selain itu,para ulama juga berpendapat tentang kebolehan menikahkan seorang wankita yang berzina dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal :
1. Fuqaha Hanafiyah menyatakan : Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka akad nikahnya dengan laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah. demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian menurut Abu Hanifah. Akan tetapiia tidak boleh menggaulinya selama belum melahirkan. Dengan dalil sebagai berikut :
a. Perempuan yang berzina tidak termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah (boleh) dan termasuk dalam firmannya : Dan kami memnghalalkan bagi kalian selain dari itu (Q.S An-Nisa :24).
b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air (sperma) hasil zina. Hal tersebut tidak bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya. Oleh karena ituzina tidak bisa menjadi penghalang pernikahan. Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan, adalah sabda Rasulullah Saw : Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan airnya lading orang lain. (H.R Abu Daud dan At-Tirmdzi) yang dimaksudkan adalah wanita hamil disebabkan orang lain.
2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat tidak boleh melakukan akad nikah terhadap wanita yang hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut dan juga menghalangi akad dengannya. Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu : sebagimana tidak bolehnya melaksanakan akad nikah dengan wanita hamil bukan karena zina maka dengan wanita yanh hamil karena zina pun tidak sah.
3. Fuqaha Malikiyah menyatakan : tidak boleh melaksanakan akad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibra), hal terebut diketahui dengan haid sebanyak tiga kali atau ditunggu tiga bulan. Karena akad dengannya sebelum istibra adalah akad yang fasid dan harus di gugurkan. Baik sudah Nampak tanda-tanda kehamilan atau belum karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagiamana hadits jangnlah ia menyirami dengan air ladang orang lain atau dikhawatirkan dapat tercampurinya nasab jika belum Nampak tanda-tanda kehamilan.
4. Fuqaha Syafi’iyah : Jika ia berzinah dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut berdasrkan firman Allah : Dan kami halalkan bagi kalian selain dari itu (An-Nisa : 24) juga sabda Rasulullah Saw: suatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal.
5. Fuqaha Hanabilah berpendapat jika seorang wanita berzina maka tidak boleh bagi laki-laki yang mengetahui hal tersebutmenikahinya, kecuali dengan dua syarat :
a. Selesai masa iddah dengan dalil di atas, janganlah ia menyirami dengan air ladang orang lain dan hadits shahih tentang wanita hamil tidak boleh digauli sampai ia melahirkan.
b. Wanita tersebut bertaubat dari zinahnya berdasarkan firman Allah Saw : dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang mukmin (Q.S An-Nur :3) dan ayat tersebut berlaku sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat hilanglah keharamannya menikahinya sebab Rasulullah Saw bersabda : Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak memiliki dosa.
Oleh karena itu, meskipun di Indonesia ada undang-undang yang mengesahkan pernikahan di luar nikah, berpikirlah sebelum melakukan perzinahan dan berpikirlah dampak yang akan terjadi pada dirinya, anak keturunannya, dan hilangnya harga diri keluarga di masyarakat.
C. Status Anak Zina
Anak zina itu menyimpan 3 keburukan (H.R Abu Daud, Ahmad).
Sebagaimana ulam menjelaskan, maksudnya ia buruk dari aspek-aspek asal-usul dan unsure pembentukannya, garis nasb, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakn kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan yang menjijikan (karena dari pezina) sementara gen it uterus menjalar turun menurun, dikhawatirkan keburukan tersbut akan berpengaruh pada dirinya untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks inilah,Allah menepis poteni negative dari pribadi Maryam dengan firmannya :
Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina", (Q.S Maryam : 28)
Walaupun demikian adanya, dia tidak dibebani dosa orang tuanya. Allah Swt berfirman :
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.. (Q.S Al-An’am : 164)
Pada prinsipnya, dosa dan sanksi zina di dunia dan di akhirat hanya ditanggung oleh orang tuanya.tetapi dikhawatirkan sifat bawaan yang negative itu akan terwarisi dan akan membawa pada berbuat keburukan dan kerusakan. namun hal ini tidak selalu menjadi acuan, kadngkala Allah akan meperbaikinya untuk menjadi manusia yang baik dan bertakwa.
Meskipun pernikahan wanita hamil karena zina dianggap sah dengan memenuhi dua syarat utama di atas, tetapi pernikahan tersebut tidak membawa perubahan status terhadap anak yang dikandungnya, artinya anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayahnya tetapi hanya dinasabkan kepada ibunya. Karena semua madzhab yang emapat (madzhab hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalamhal ini, sama saja baik si wanita yang dizinahi itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw : “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan). (Al Mabsuth 17/154, Asy Syahrul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal 338, dan Ar Raudhah 6/44. Di kutip dari Taisiril Fiqh 2/828).
Rasulullah Saw telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Swt.
Ibnul Abdil Barr berkata, Nabi Saw bersabda : “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan). Maka beliau menafikann (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam.
Semua madzhab yang empat telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersbut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinahi itu bersuami atau pun tidak bersuami. jadi anak itu tidak berbapak. ). (Al Mabsuth 17/154, Asy Syahrul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al Qawanin hal 338, dan Ar Raudhah 6/44. Di kutip dari Taisiril Fiqh 2/828). Hal ini berdasarkan sabda RAsulullah : “Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)”. (H.R Bukhary dan Muslim).
Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya.Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja. (Taudlihul Ahkam 5/103).
Di katakana di dalam kitab Al Mabsuth, “Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakuinya) bahwa anak ini ank dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah, “Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).
Rasulullah telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Swt (Al Mabsuth 17/154).
Ibnul Abdil Barr berkata, Nabi Saw bersabda : “Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan). Maka beliau menafikann (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam. (At Tahmid 6/183 dari At Taisir).
Oleh karena itu anak hasil zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
• Anak itu tidak berbapak
• Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Rasulullah Saw bersabda : “Maka sultanlah (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (Hadits Hasan riwayat Asy-Syafi’I, Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Satu maslah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra dengan satu kali haidh, lalu di gauli dan terus hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah di jelaskan dimuka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaiman status anak yang baru lahir ini?
Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya padahal pernikahan di masa iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak (Al Mughny 6/445).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan hal serupa, beliau berkata, “Barang siapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakin pernikahan (yang sah), mana nasb (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan para ulama, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikatkan kepadanya)”. (Dinukil dari Al Bassam dalam Taudlihul Ahkam 5/104).
D. Pembagian Waris Anak Zina
Sebagaimana dijelaskan, anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya,begitu juga jika anak itu wanita,ayahnya tidak dapat menikahkannya sebagai wali. Dengan demikian pembagian waris pun tidak berhak diberikan kepadanya karena tidak ada hubungan nasab dari perkawinan yang sah. Tetapi anak zina hanya dapat waris dari ibnunya. Pembagian warisannya sebagai berikut :
Seorang perempuan meninggalkan ahli waris sebagai berikut :
Suami dan anak laki-laki hasil zina. Maka suami mendapat ¼ karena ada anak.Sedangkan anak laki-laki hasil zina mendapatb asobah (sisa) yaitu 3/4.
Atau kasus lain seorang perempuan meninggalkan ajli waris sebagai berikut :
Suami dan anak perempuan hasil zina. Maka suami berhak mendapat ¼ karena mayit memiliki anak. Sedangkan anak perempuan hasil zina mendapat ½ karena sendirian. Sedangkan ibu mendapa 1/6 karena ada anak. Asal masalahnya adalah 12. Suami mendapat ¼ menjadi 3/12. Anak perempuan hasilo zina ½ menjadi 6/12. Dan ibu 1/6 menjadi 2/12. Adapun sisanya 1/12 adalah dibagikan buat anak perempuan dan ibu.
Tetapi jika yang meninggalkan itu adalah seorang laki-laki.Maka anak hasil zina itu tidak berhak mendapatkan waris. tetapi dapat diberikan dengan cara hibah atau wasiat, tentunya dengan cara yang sesuai dengan ketentuan wasiat dan hibah.
E. Menghadiri Undangan MBA
Secara prinsip, ajaran Islam mewajibkan kita menjaga ikatan silaturahim, salah satu bentuknya adalah menghadiri undangan. Rasulullah Saw bersabda : “Apabila salah seorang di antara kamu diundang untuk menghadiri walimah (resepsi) pernikahan, hendaklah penuhi undangannya”. (H.R Muslim)
Islam tak hanya mewajibkan untuk menghadiri undangan pernikahan, tapi juga undangan-undangan lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam keretangan berikut. Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa diundang ke pesta pernikahan atau sejenisnya, maka hendaklah datang”. (H.R Muslim).
Rasulullah Saw bersabda,”Apabila kamu diundang untuk menghadiri satu jamuan, maka hendaklah ia datang. Jika ingin makan, silahkan makan. Dan jika tidak mau, maka ia pun boleh tidak makan”. (H.R Muslim).
Jadi, kita diwajibkan untuk memenuhi undangan pernikahan juga undangan-undangan lainnya, misalnya undangan syukuran rumah, keberangkatan haji, khitanan, dll.Namun, kewajiban memenuhi undangan ini bisa gugur karena ada alasan-alasan syar’I (yang dibenarkan agama) misalnya karena sakit, bentrok dengan undangan lainnya, waktu yang tidak memungkinkan, dll.
Persoalannya, bagaimana kalau menghadiri undangan yang mengandung unsure kemungkaran, misalnya menghadiri walimah pernikahan MBA (married by accident)? untuk menjawab masalah ini, silahkan cermati hadits berikut.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah duduk di suatu hidangan yang diedarkan padanaya khamar (minuman yang memabukan)”. (H.R Ahmad, Nasa’I, dan Tirmidzi).
Hadits ini menegaskan bahwa kita tidak dibenarkan ikut duduk-duduk di tempat yang jelas-jelas ada unsure kemungkaran, yaitu diedarkannya minuman yang memabukan. Ini mengisyaratkan bahwa kita pun haram menghadiri suatu pesta atau jamuan yang di dalamnya ada unsure maksiat.
Pernikahan MBA (married by accident) adalah salah satu bentuk pernikahan yang mengandung kemungkaran. Karena dalam pernikahan tersebut ada unsure melegalisasi perbuatan dosa. Kalau ada wanita hamil padahal belum menikah, bererti ia pernah berzina. Untuk menutup aib, akhirnya dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Berarti, dalam pernikahan MBA jelas-jelas ada unsure kemungkaran, yaitu melegalisasi hasil perzinahan. Sedangkan dalam hadits di atas, Nai saw mengharamkan untuk menghadiri jamuan yang mengandung unsure kemungkaran.
Bertolak dari analisis ini, bisa disimpulkan bahwa haram hukumnya menghadiri undangan pernikahan MBA kalau kita sudah mengetahuinya, kecuali kalau kita tidak tahu. Sesungguhnya yang diharamkan itu bukan hanya pernikahan MBA, tetapi segala jamuan dan undangan yang mengandung unsure kemungkaran. Wallahu a’lam.
BAB III
RANGKUMAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tidak boleh nikah dengan perempuan yang berzina kecuali dengan dua syarat yaitu, bila perempuan tersebut telah bertaubat dari perbuatan nistanya dan telah lepas iddah-nya.
2. Ketentuan perempuan yang berzina dianggap lepas iddah adalah sebaai berikut :
a. Kalau ia hamil, maka iddah-nya sampai melahirkan.
b. Kalau ia belum hamil, maka iddah-nya sampai ia telah haid satu kali semenjak melakukan perzinahan tersebut.
3. Kompilasi Hukum Islam Bab VIII pasal 53 ayat (1),(2) dan (3) dicantumkan bahwa : (a) seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (b) Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu dahulu kelahiran anaknya. (c) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.
4. Status anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya, meskipun mani (sperma) itu bersumber dari dirinya. tetapi karena kehamilannya tidak didasarkan kepada pernikahan yang sesuai syariat Isalam. Maka status anak zina tidak dapat dinasabkan kepadanya tetapu hanya kepada ibunya.
Anak hasil zina juga tidak berhak mendapatkan waris dari ayahnya melainkan hanya dari ibunya. Jika anak itu perempuan, maka ayahnya tidak berhak menjadi wali untuk menikahkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan, Muhammad. 1998. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah : Pada Masalah-Masalahkontemporer Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Amiruddin, Aam. 2008. Bedah Masalah kontemporer : Ibadah dan Muamalah. Bandung : Khazanah Intelaktual.
2008. Membingkai surga dalam Rumah Tangga. Bandung : Khazanah Intelaktual.
Maslahani, dan Hasbiyallah. 2010. Masail Fiqhiyah Al-Haditash : Fiqh Kontemporer. Bandung : Sega Arsy.
Qardhawi, Yusuf. 1985. Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam. Daail Baidha : Daarul Ma’rifah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar